Selasa, 01 Desember 2020

LOWONGAN PEKERJAAN

 Lowongan Pekerjaan


Dibutuhkan segera, 1 (satu) orang Asisten Pengacara, S1 Hukum, Diutamakan Wanita max 30 Tahun, berpengalaman, Diutamakan tinggal di wilayah Kab. Cilacap, Lamaran ke Kantor HukumHaryani Mularsih & Partners, Jl. Gatot Subroto No, 58 Cilacap (Depan Jiwasraya Cilacap), Hub. 0811217278923

Rabu, 04 November 2020

Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi

 Dalam perkara gugatan perdata, dikenal adanya Eksepsi di luar Ekssepsi Kompetensi, yang terdri dari berbagai bentuk atau jenis, antara lain:

1. Eksepesi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, antara lain :
a) Surat Kuasa bersifat Umum, surat kuasa ini didasarkan pada Pasal 1795 KUH Perdata dan bukan yang dimaksud pada pasal 123 HIR. Oleh karena itu tidak sah digunakan bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa di depan Pengadilan;
b) Surat Kuasa tidak memenuhi syarat formil yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No.01 Tahun 1971 jo. SEMA No. 6 Tahun 1994, yaitu Surat Kuasa Khusus (bijzondere schriftelijkemachtiging) harus jelas dan tegas menyebut :
- secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN tertentu sesuai dengan kompetensi relatif;
- identitas para pihak yang berperkara;
- menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan obyek yang diperkarakan, serta,
- mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa;
Semua syarat tersebut bersifat KUMULATIF, oleh karena itu apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, surat kuasa tidak sah karena mengandung cacat formil.
c) Surat Kuasa dibuat orang yang tidak berwenang, yaitudasar umum pemberian kuasa, harus diberikan, dibuat dan ditandatangani oleh orang yang berwenang untuk itu.
2. Eksepsi Error in Persona, yang terdiri dari :
a) Eksepsi Diskualifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu peberi kuasa tidak mempunyai kedudukan hukum untuk itu atau persona standi in judisio, misalkan anak di bawah umur atau di bawah perwalian;
b) Keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat, yaitu gugatan diajukan terhadap si A padahal seharusnya diajuakn terhadap si B;
c) Exceptio plurium litis consortium, yaitu apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap dan masih ada orang yang harus dijadikan sebagai penggugat atau tergugat;
3. Exeptio Res Judicata atau Ne Bis In Idem atau disebut juga exeptie van gewisjde zaak, yaitu diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata, sedangkan yang dimaksud dengan Ne Bis In Idem diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatannya yang sama apabila terhadapnya oleh hakim telah dijatuhi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tentang itu.
Demikian kutipan singkat mengenai Eksepsi yang biasanya akan diajukan ketika ada gugatan perdata di pengadilan. Semoga bermanfaat.

3 (Tiga) JANGAN


Pada saat menjalani pendidikan Calon Hakim beberapa tahun yang lalu, kurang lebih 20 tahun yang lalu, ada nasihat dari seorang Hakim senior yang menjadi pemateri pada saat itu. Beliau mengatakan agar sebagai Hakim kita harus menghindari 3 (tiga) JANGAN, yaitu;
1. JANGAN memutus perkara ketika kita lapar, artinya, dalam kondisi lapar, baik dalam arti sebenarnya maupun arti kiasan, seorang Hakim akan memutus dengan menggunakan berbagai cara untuk menutup rasa laparnya tersebut. Bisa dilakukan dengan kolusi, suap maupun perilaku menyimpang lainnya demi bisa menutup rasa laparnya;
2. JANGAN memutus perkara ketika kita marah, artinya dalam kondisi marah tentu kita tidak akan bisa memutus dengan adil. Redakan rasa marah tersebut telebih dahulu, baru kita sebagai Hakim bisa memutus suatu perkara;
3. JANGAN memutus perkara pada saat kita dalam keadaan bingung atau banyak pikiran, artinya apabila kita sebagai Hakim memutus perkara dalam keadaan bingung atau banyak pikiran, tentu putusan yang kita hasilkan akan menjadi putusan yang tidak adil dan rawan disusupi perilaku menyimpang dari kode etik seorang Hakim.
3 (tiga) JANGAN tersebut, kiranya masih relevan sampai dengan saat ini, mengingat menjadi seorang Hakim berarti sudah siap untuk melepaska semua kepentingan keduniawiannya dan harus berdiri dalam keadaan bersih tanpa cela. Meski demikian keberadaan 3 (tiga) JANGAN tersbeut juga harus didukung oleh warga masyarakat sebagai para pencari keadilan, setidaknya tidak membuka celah bagi Hakim untuk berbuat yang menyimpang dari kode etik. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi perhatian bagi kita semua demi tegaknya KEADILAN di negeri tercinta kita ini. SEMOGA.

Selasa, 06 Oktober 2020

Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis

 Banyak yang masih bertanya-tanya, apakah ada hukum yang tidak tertulis saat ini? Dan apakah hukum tidak tertulis tersebut masih berlaku? Tentu saja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus kembali pada bagaimana bentuk hukum. Secara garis besar, hukum dapat berbentuk hukum yang tertulis dan hukum tidak tertulis. Secara kasat mata memang gampang untuk membedakannya, akan tetapi kita harus paham juga apa isinya. Untuk itu kami akan membahasnya secara singkat sebagai berikut.

Pada awal mula adanya hukum, yang ada adalah hukum yang tidak tertulis, yang berisi peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam suatu komunitas masyarakat. Hukum tidak tertulis tersebut ada karena masyarakat menginginkan adanya ketertiban dan keteraturan dalam kehidupannya. Akan tetapi karena aturan hukum tidak tertulis tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa bagi setiap orang untuk mematuhinya karena tidak mempunyai sanksi bagi yang tidak mematuhinya atau melanggarnya. Masyarakat masih beranggapan bahwa oleh karena tidak ada sanksi, maka aturan hukum yang tidak tertulis tersebut, dapat dilanggar oleh setiap orang dan tidak dipatuhi keberadaannya. Hukum tidak tertulis tersebut kemudian berubah menjadi norma, yang berisi larangan namun tidak memiliki sanksi yang bisa bersifat memaksa.
Menyadari bahwa hukum tidak tertulis tidak efektif sebagai salah satu upaya mengatur kehidupan masyarakat, maka kemudian dibuatlah hukum tertulis dalam bentuk kodifikasi (pengumpulan) atas beberapa hukum yang tidak tertulis yang dikumpulkan menjadi satu dalam susunan hukum yang tertulis yang kemudian dalam hukum yang tertulis ini ditambahkan adanya sanksi bagi pelanggarnya sebagai kekuatan memaksa berlakunya hukum tersebut. Dengan adanya sanksi inilah maka hukum dapat diberlakukan, meskipun ada unsur paksaan, agar ditaati dan dipatuhi oleh warga masyarakat. Meski demikian, apa yang terkandung di dalam hukum yang tertulis menjadi sangat terbatas, mengingat perkembangan masyarakat yang bergitu dinamis, seringkali membuat hukum menjadi tertinggal dan seakan tidak mampu mengikuti perkembangan jaman. Harus diakui bahwa di dalam pernyusunan hukum secara tertulis (misalkan sebuah undang-undang), akan banyak kepentingan yang saling berperang dan berbagi pengaruh supaya kepentingannya dimasukkan di dalam undang-undang tersebut. Bahkan, dalam bahasa yang kasar, penyusunan hukum secara tertulis dalam pembentukannya dapat dibeli oleh pihak yang berkuasa atau pihak yang mempunyai modal atau pihak yang memiliki kepentingan.
Mengingat peliknya pembentukan hukum secara tertulis tersebut, maka kita sebagai anggota masyarakat harus berperan aktif apabila pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga legistlatif berencana membuat sebuah hukum tertulis (undang-undang), kita harus aktif berperan dalam memberikan pendapat kita setidaknya memberikan saran dan pendapat kepada pihak yang akan menyusunnya. Semakin aktif kita sebagai anggota masyarakat tentunya akan membuat sebuah hukum yang tertulis (undang-undang) menjadi hukum yang baik, yang bisa diterima oleh semua pihak dan bisa ditaati dan dipatuhi oleh semua anggota masyarakat.
Demikian kurang lebih uraian singkat mengenai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Semoga bisa memberi manfaat bagi kita semua.

Kamis, 17 September 2020

Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum

Tiga istilah yang sering ditemukan di bidang hukum yang masing-masing mempunyai arti dan makna sendiri-sendiri namun masih banyak belum dipahami oleh masyarakat awam. Memang harus diakui bahwa masih banyak istilah hukum, yang meskipun menggunakan bahasa Indonesia tetapi masih tidak dipahami artinya. Bahkan dalam level setingkat penyiar televisi mauun penyiar radio, masih salah kaprah dalam penyebutannya. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Hal ini tidak terlepas dari sifat eksklusifnya pendidikan hukum yang hanya diberikan secara formal di bangku perkuliahan di Fakultas Hukum. Sangat jarang ditemui adanya pelatihan hukum secara informal yang dilakukan di luar bangku kuliah, meskipun beberapa tahun yang lalu sering kita dengar istilah penyuluhan hukum yang sekarang sudah sangat jarang terdengar lagi ada kegiatan penyuluhan hukum.

Kembali pada pokok bahasan yaitu istilah Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum. Kami akan coba jelaskan secara singkat sebagai berikut.
1. Penasihat Hukum : Merupakan istilah dalam Hukum Acara Pidana dan juga dalam Hukum pidana, harus bergelar setidaknya SARJANA HUKUM atau dapat juga bergelar MAGISTER HUKUM atau DOKTOR di bidang hukum, harus merupakan seorang ADVOKAT atau PENGACARA yang sudah disumpah di Pengadilan Tinggi dan mempunyai Berita Acara Sumpah serta memiliki Kartu Tanda Anggota dari Perhimpunan Advokat yang diakui dan masih berlaku, penugasannya didasarkan pada SURAT KUASA yang dibuat oleh PEMBERI KUASA yaitu TERDAKWA kepada Advokat yang bersangkutan untuk menjadi kuasa yang mendampingi Terdakwa dalam persidangan maupun dalam melakukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali atau berdasarkan PENETAPAN dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara karena sifat perkaranya yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun atau pidana mati, untuk surat kuasa dapat disubstitusi / digantikan oleh advokat yang lain, surat kuasa dapat dicabut oleh pemberi kuasa setiap saat, namun yang berdasarkan penetapan majelis hakim, berlaku sampai perkara tersebut selesai diputus di tingkat pertama/di tingkat pengadilan negeri.
2. Kuasa Insidentil : Merupakan istilah di bidang hukum perdata, penerima kuasa harus merupakan orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemberi kuasa yang dibuktikan dnegan SURAT KETERANGAN dari Kelurahan / Kantor Desa setempat/sesuai KTP, pemberi kuasa bisa merupakan PENGGUGAT dan bisa juga merupakan TERGUGAT, penugasannya berdasarkan SURAT KUASA KHUSUS yang dibuat oleh pemberi kuasa, penerima kuasa mempunyai hak untuk mewakili semua kepentingan pemberi kuasa di dalam persidangan dan juga dalam melakukan upaya bukum, baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali, surat kuasa dapat dicabut setiap saat oleh pemberi kuasa;
3. Kuasa Hukum : Merupakan istilah di bidang Hukum Acara Perdata, harus setidaknya bergelar SARJANA HUKUM dan bisa juga bergelar MAGISTER HUKUM/MAGISTER HUMANIORA atau Doktor di bidang hukum, harus merupakan seorang ADVOKAT atau PENGACARA yang sudah disumpah di Pengadilan Tinggi dan mempunyai Berita Acara Sumpah serta memiliki Kartu Tanda Anggota dari Perhimpunan Advokat yang diakui dan masih berlaku, penugasannya berdasarkan SURAT KUASA KHUSUS yang dibuat oleh pemberi kuasa, bisa merupakan penggugat maupun tergugat, mempunyai hak untuk mewakili pemberi kuasa di persidangan maupun untuk melakukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali, surat kuasa dapat dicabut setiap saat oleh pemberi kuasa.
Demikian uraian singkat mengenai Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum. Semoga bisa dipahami dan memberi manfaat bagi kita semua.

Jumat, 04 September 2020

Plagiat, merupakan petunjuk kemalasan berpikir seseorang

 Setiap orang tentu sudah sangat sering mendegar kata PLAGIAT,banyak yang sudah paham artinya namun masih banyak pula yang belum mengetahui artinya. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat/pla·gi·at/ n pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan (sumber : https://kbbi.web.id/plagiat).

Dari definisi tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa plagiat adalah perbuatan yang bersifat ilmiah, mengingat ada pendapat orang lain yang digunakan oleh seseorang seakan-akan pendapat itu adalah pendapatnya senidri. Kadar plagiat itu bermacam-macam, ada yang 100 persen menjiplak karya orang lain, ada yang hanya 50 persen dan seterusnya.
Sebenarnya, ketika kita menulis karya ilmiah, tetap dibolehkan mengutip pendapat orang lain namun harus dengan mencantumkan sumbernya.
Di kalangan akademisi bahkan sudah memiliki aplikasi untuk mendeteksi apakah sebuah karya ilmiah benar-benar merupakan hasil tulisan mahasiswa itu sendiri atau hasil menjiplak. Dan seringkali yang diberi toleransi untuk mengutip pendapat orang lain adalah 20 % (dua puluh persen) dari keseluruhan isi karya tulis tersebut. Hal ini mengingat untuk saat ini hampir pasti sangat sulit untuk tidak mengutip pendapat dari orang lain dalam sebuah karya tulis ilmiah. Sehingga harus dibuat aturan yang jelas dalam mengutip pendapat orang lain tersebut. Sebab apabila terlalu banyak mengutip pendapat orang lain dan tanpa menyebutkan sumbernya, hal ini merupakan petunjuk kemalasan berpikir seseorang.
Demikian sedikit ulasan mengenai plagiat, semoga bermanfaat.

Rabu, 02 September 2020

Kita Hidup Karena Kita Berpikir


Dalam beberapa buku filsafat, termasuk diantaranya filsafat hukum, akan ditemukan pendapat sebagaimana tertulis di atas. Saya tentu tidak akan membahas dalam ranah agama, namun sedikit pembahasan dalam ranah kehidupan manusia. Banyak orang tentu akan bersyukur ketika di pagi hari masih diberikan kehidupan yang baru, bisa bangun dari tidur kemudian beraktivitas seperti biasa. Namun pernahkah kita sedikit berpikir, apa yang harus saya lakukan terhadap hidup saya? Hampir semua orang akan beraktivitas secara rutin sebagaimana biasa, berangkat ke kantor, mengerjakan tugas-tugas kantor, sore hari pulang ke rumah bertemu keluarga, begitu seterusnya.
Pernahkah kita berpikir bahwa dalam proses melakukan sesuatu kita harus berpikir, misalkan apa saya sudah mengisi bahan bakar kendaraan saya? Apa saya sudah sarapan? Apa uang belanja istri masih ada? Dan, masih banyak lagi pertanyaan yang seharusnya membuat kita berpikir.
Dari proses berpikir itulah kita bisa hidup, bisa mempertahankan kehidupan kita dan merencanakan apa yang akan kita lakukan di masa depan. Oleh karena itu, menjadi tidak salah bahwa manuisa itu hidup karena manusia itu berpikir. Lalu apa bedanya dengan hewan? Mereka juga berpikir. Tentu ada perbedaan mencolok antara manusia dan hewan, yaitu hewan hanya berpikir hari ini harus makan tapi tentu tidak akan bepikir makan apa tapi pasti makan yang sudah menjadi kodratnya, misalnya seeokor sapi tentu akan makan rumput, seekor harimau tentu akan makan daging demikian seterusnya. Kemudian, hewan juga berpikir untuk beranak pinak, namun tidak akan sampai pemikiran bahwa untuk beranak pinak harus melalui proses pernikahan yang sah namun hanya menuruti hawa nafsunya saja, ada seekor betina di sampingnya, langsung dikawinnya, ada betina yang lain juga dikawinnya demikian seterusnya.
Manusia, sebagai ras tertinggi dalam kehidupan di bumi, tentunya akan berpikir, bagaimana supaaya komunitasnya aman, tertib dan bahagia. Hal tersebut tentunya dilakukan dengan proses berpikir. Dari berpikir itulah akan muncul teori-teori kehidupan yang akan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berkembangnya jaman, tentunya teori-teori yang usang akan ditinggalkan dan digantikan dengan teori-toeri baru yang lebih mengakomodir kebutuhan manusia. Demikian seterusnya akan berputar terus hingga manusia itu hilang dalam peradabannya.
Oleh sebab itu, untuk bisa menjadikan hidup semakin bermakna, mulailah kita berpikir demi kebutuhan kita saat ini dan di masa mendatang demi anak keturunan kita nantinya. Sehingga tidak ada salahnya bisa ada jargon Dengan Berpikir Manusia itu Hidup.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...