Senin, 11 Mei 2015

SISTEM HUKUM YANG BAIK

SISTEM HUKUM YANG BAIK
Berbicara tentang HUKUM tentunya tidak akan terlepas dari SISTEM HUKUM yang diterapkan dari suatu negara. Lalu, apakah yang dimaksud dengan SISTEM ?
Secara umum SISTEM diartikan adalah "Suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian." Dari pengertian ini, SHORDE & VOICH mempertajam pengertian tersebut menjadi, "Sistem adalah suatu rencana, metoda atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu."
Masyarakat tentunya hanya mengetahui bahwa SISTEM adalah "Suatu kesatuan yang bersifat kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain," akan tetapi pengertian tersebut dilengkapi oleh SHORDE & VOICH menjadi, "Bagian-bagian tersebut bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok darin kesatuan tersebut," sehingga suatu SISTEM memiliki ciri-ciri : 1. Berorientasi kepada tujuan, 2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (Wholism), 3. Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem), 4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi), 5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan), 6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).
Setelah mengetahui sedikit banyak mengenai pengertian SISTEM, maka apabila HUKUM ingin dikatakan sebagai suatu SISTEM maka harus memenuhi (setidaknya) syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.
Apabila HUKUM telah memenuhi persyaratan sebagai suatu SISTEM, tentunya ketika SISTEM HUKUM diaplikasikan dalam masyarakat harus merupakan SISTEM HUKUM yang baik. Banyak pendapat mengenai ciri-ciri SISTEM HUKUM yang baik, penulis hanya akan mengutip sedikit dari pendapatnya FULLER dalam bukunya THE MORALITY OF LAW, cetakan Tahun 1971, yang menyebutkan bahwa SISTEM HUKUM yang baik harus memiliki 8 (delapan) asas yang dinamakan PRINCIPLES OF LEGALITY, yaitu :
1. Suatu skstem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yaitu tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat AD HOC ;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan ;
3, Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut karena membolehkan pengaturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang ;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti ;
5. Suatu sistem tidak boleh mengadung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain ;
6. Peraturan-peraturan tidak bole mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan ;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi ;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan-peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari ;
Apabila kita cermati kedelapan syarat tersebut, (sepintas) kita akan berpandangan bahwa syarat tersebut bersifat LEGALISTIK, yaitu terhadap pemberlakuan HUKUM baru ada setelah ditetapkan atau diberlakukan dan berlaku tanpa memandang terhadap siapa HUKUM tersebut akan dibelakukan, namun memang demikianlah sifat dari HUKUM itu sendiri, yang apabila sudah menjadi suatu produk hukum berupa (salah satunya) peraturan perundangan, akan bersifat RIGID (kaku) dan berlaku terhadap setiap orang / badan hukum dalam suatu masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan yang lebih mendalam ketika kita akan membuat suatu produk hukum. Khususnya bagi kita para HAKIM, yang produknya adalah PUTUSAN, yang merupakan salah satu dari SUMBER HUKUM, yaitu YURISPRUDENSI, perlu ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan dalam penyusunannya. Apabila putusan HAKIM yang dibuat berdasarkan fakta persidangan, tentu tidak akan terbantahkan, meskipun ada upaya hukum dari para pencari keadilan. SEMOGA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...