Kamis, 03 September 2015

BURUH, ANTARA DUNIA MIMPI DAN KENYATAAN


BURUH, ANTARA DUNIA MIMPI DAN KENYATAAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Riuh rendah demonstrasi buruh pada hari Selasa tanggal 01 September 2015di seluruh pelosok Indonesia yang berpusat di Jakarta, mengingatkan kita kembali bahwa adalah suatu kenyataan bahwa setiap kegiatan perekonomian pasti membutuhkan tenaga kerja, baik tenaga kerja terdidik maupun tenaga kerja non terdidik. Konsekuensinya adalah setiap pelaku perekonomian harus menyiapkan dana yang digunakan untuk membiayai tenaga kerja yang mereka pekerjakan, baik itu dalam bentuk upah (gaji), tunjangan, uang makan, uang transportasi dan masih banyak bentuk lainnya.
Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia, menjadi tulang punggung dari kebijakan pemerintah yang khusus bagi kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia. Berbagai macam kebijakan telah diambil pemerintah dengan tujuan agar tenaga kerja di Indonesia semakin sejahtera, namun bukan hanya kesejahteraan yang dituntut oleh tenaga kerja di Indonesia (yang bisa kita sebut buruh) tetapi juga jaminan bahwa buruh di Indonesia dapat terus bekerja tanpa adanya ketakutan adanya ancaman pemutusan hubungan kerja dari perusahaan yang mengerjakannya. Disinilah peran dari Pengadilan Hubungan Industrial akan mendapat porsi sebagai penyeimbang antara kebijakan perusahaan, dengan kebutuhan hidup buruh dan regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
ANTARA DUNIA MIMPI DAN KENYATAAN
Setiap orang menginginkan bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan yang dimilkinya, atau dalam tataran yang lebih rendah, setiap orang berharap bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan yang terpenting pekerjaan yang dimilikinya mampu menghidupi diri dan keluarganya, serta berharap ada kelebihan dari penghasilan yang diterima setiap bulannya yang dapat digunakan untuk membeli rumah, meskipun secara angsuran dan untuk kebutuhan tersier lainnya demi bertambahnya kesejahteraan keluarga buruh tersebut. Pihak perusahaan juga tidak bisa berlepas tangan atas kesejahteraan buruh, mengingat bahwa hubungan antara buruh dengan perusahaan seharusnya merupakan hubungan yang bersifat “simbiosis mutualis” atau hubungan yang saling menguntungkan, yaitu perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari hasil kerja buruh dan buruh mendapatkan keuntungan berupa penghasilan yang diterima setiap bulan.
Ketika seseorang telah menyelesaikan pendidikannya atau ia harus menyelesaikan pendidikannya dengan alasan ekonomi, tentunya orang tersebut akan berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Tidak setiap orang mampu bersaing dan mendapatkan pekerjaan sebagaimana yang ia inginkan dan seringkali menjadi buruh (kasar) menjadi pilihan terakhir, daripada tidak mempunyai pekerjaan yang dapat menyambung kehidupannya. Dari sudut pandang perusahaan, tentunya menginginkan mendapatkan buruh yang dapat dibayar dengan harga yang murah, yang tentunya dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan, mengingat saat ini masih banyak ditemui praktek biaya siluman dalam biaya produksi di Indonesia, disamping masih tumpang tindihnya peraturan. Harus diakui  bahwa peraturan ketenagakerjaan selalu bersinggungan dengan peraturan bidang lain, misalnya peraturan perpajakan maupun peraturan-peraturan lainnya, sehingga tentu saja hal ini membuat ketidakharmonisan hubungan industrial di Indonesia sebab perusahaan yang selalu dibebani dengan berbagai macam biaya produksi, juga dibebani untuk memberikan kesejahteraan yang baik kepada setiap tenaga kerjanya sedangkan buruh juga selalu menuntut perbaikan kesejahteraan yang semakin baik sebagaimana diimpikannya sehingga bisa membahagiakan diri dan keluarganya, namun seringkali pula melupakan bahwa kesejahteraan yang didapatnya sangat ergantung dari hasil kerjanya pada perusahaan dimana buruh tersebut bekerja. Buruh selalu memimpikan gajinya mampu mencukupi kebutuhannya, tidak hanya kebutuhan primer namun juga kebutuhan sekunder dan tersier, namun hal tersebut selalu terganjal dengan kebijakan perusahaan dan juga berbagai peraturan ketenagakerjaan serta kebutuhan hidup yang semakin mahal yang semakin tidak terjangkau oleh penghasilan buruh tersebut.
Hal inilah yang menimbulkan dunia buruh bagaikan dunia mimpi dan kenyataan. Buruh bermimpi bisa hidup berkecukupan dari penghasilannya namun mimpi tersebut hanya tinggal mimpi menginggat begitu tingginya biaya hidup maupun ketatnya kebijakan perusahaan dan tumpang tindihnya peraturan yang ada yang membuat kehidupan buruh semakin tertekan, yang pada akhirnya berujung pada pemutusan hubungan kerja dan berakhir pada gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Peran dari PHI yang merupakan ultimum remedium, diharapkan bisa menjadi penyeimbang antara buruh, pengusaha dan pemerintah.Wallahualam.







[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...