Senin, 02 Mei 2016

PROPOSAL PENELITIAN MEMAHAMI DISPARITAS PUTUSAN PRA PERADILAN (SEBUAH TINJAUAN YURIDIS NORMATIF)


PROPOSAL PENELITIAN
MEMAHAMI DISPARITAS PUTUSAN PRA PERADILAN
(SEBUAH TINJAUAN YURIDIS NORMATIF)

A.    Latar Belakang
Sebagai bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya akan membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu perkara atau sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan, dengan tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang diminta atau dituntutnya. Kecermatan di dalam pembuktian dalil dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan tenaga dengan sia-sia.
Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.
Pengaturan mengeni tata cara proses penegakan hukum pidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun  1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang telah mengatur secara terperinci tugas masing-masing dari Aparat Penegak Hukum, dimulai sejak adanya laporan kepolisian maupun adanya aduan atas tindak pidana aduan sampai dengan proses eksekusi atas putusan Hakim oleh pihak Kejaksaan sebagai eksekutor putusan Hakim dan pelaksanaan pemidanaan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjabarkan secara terperinci mengenai tugas-tugas dari masing-masing Aparat Penegak Hukum dan juga dijelaskan mengenai hak-hak maupun kewajiban dari tersangka / terdakwa ataupun hak-hak dan kewajiban dari saksi / korban. Hal ini bertujuan untuk memperlancar proses penegakan hukum (pro justisia) yang dimulai dari penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan Hakim.
Salah satu proses penegakan hukum yang saat ini menjadi perhatian masyarakat, yaitu mengenai PRA PERADILAN. Keberadaan pra peradilan ini sebenarnya berguna sebagai alat introspeksi bagi aparat penegak hukum, khususnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan di dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan suatu tindak pidana. Pada saat ini, penyidikan tidak hanya dilakukan oleh pihak Kepolisian, akan tetapi juga dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan, maka secara tidak langsung ketentuan pasal 77 KUHAP mengenai pra peradilan juga ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Munculnya putusan-putusan pra peradilan pada saat ini yang berkesan saling bertentangan antara satu putusan dengan putusan yang lain, menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa putusan pra peradilan “dapat dibeli” sesuai dengan pesanan dari pihak pemohon para peradilan dengan memandang pangkat atau juga jabatan pemohon. Bahkan dengan adanya putusan pra peradilan yang dikeluarkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi, Hakim Jakarta Selatan, menyebabkan Hakim kontroversial Sarpin Rizaldi dilaporkan ke Mahkamah Agung (MA) oleh koalisi masyarakat sipil antikorupsi atas putusannya mengabulkan gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Koalisi berharap, MA akan memberikan sanksi tegas kepada hakim Sarpin, seperti kasus-kasus serupa sebelumnya.[1] Putusan Hakim Sarpin Rizaldi, juga menginspirasi terdakwa-terdakwa korupsi lainnya untuk mengajukan pra peradialan, salah satunya adalah Mukti Ali, pedagang sapi asal Banyumas, mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kepolisian Resor Banyumas yang dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi bantuan sosial dan alasan Gugatan praperadilan ini berdasar pada yurisprudensi putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam kasus Budi Gunawan alias BG yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. [2]
Hal inilah yang kemudian harus dikaji secara ilmiah bahwa masing-masing putusan peradilan telah memuat pertimbangan dari Hakim yang menyidangkannya sebagai dasar dari putusan tersebut.
Secara umum pra peradilan diatur di dalam pasal 77 – 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan. Pasal 77 menyebutkan, “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
a.    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
b.    Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Penjelasan pasal 77 KUHAP ini hanya menyebutkan mengenai penghentian penuntutan, dengan menyatakan, “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.” Penjelasan ini tentunya dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, sehingga seharusnya terdapat penjelasan bahwa mengenai istilah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti rugi atau rehabilitasi menunjuk pada KETENTUAN UMUM sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUHAP.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa kewenangan Hakim dalam persidangan pra peradilan jika didasarkan pada ketentuan pasal 77 KUHAP, hanya pada 4 (empat) hal saja yaitu :
1)      Sah atau tidaknya penangkapan ;
2)      Sah atau tidaknya penahanan ;
3)      Sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan ;
4)      Sah atau tidaknya penuntutan.
Adanya proses pra peradilan ini kiranya perlu mendapat perhatian yang serius dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan untuk melakukan pengkajian secara sistematis dan menyeluruh. Pengkajian ini disamping untuk analisis putusan-putusan pra peradilan yang telah ada saat ini juga untuk memperbaharui wawasan para hakim bahwa obyek pra peradilan juga telah diperluas dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 Tahun 2014 tentang Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan serta putusan Mahkamah Konstitusi   Nomor : 41/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 tentang Pembatasan Pengertian dan Obyek Pra Peradilan, sehingga kiranya pedoman pra peradilan sebagaimana tercantum dalam pasal 77 KUHAP juga mengalami perluasan. Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi, mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengawasan terhadap proses persidangan dan putusan pra peradilan, sehingga tujuan terciptanya keadilan dalam masyarakat dan kepastian hukum dapat tercapai.

B.     Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan dalam pengkajian tentang putusan pra peradilan, yaitu ;
1.      Bagaimana eksistensi pra peradilan dalam sistim hukum acara pidana di Indonesia ?
2.      Bagaimana penafsiran Hakim dalam putusan-putusannya terhadap ketentuan pra peradilan dalam KUHAP ?
3.      Bagaimana efek perluasan obyek pra peradilan di Indonesia beradasarkan putusan Mahkamah Konstitusi ?

C.    Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan di atas, pengkajian tentan putusan pra peradilan ini mempunyai tujuan penelitian sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis eksistensi putusan pra peradilan dalam sistem hukum acara pidana di Indoensia.
2.      Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis penafsiran Hakim terhadap ketentuan pra peradilan dalam KUHAP.
3.      Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis efek perluasan obyek pra peradilan di Indonesia berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

D.    Kegunaan Penelitian
Pengkajian tentang putusan pra peradilan ini mempunyai kegunaan yang terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Secara terperinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Kegunaan Teoritis dari hasil pengkajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis terhadap pengembangan disiplin ilmu hukum dan khususnya terkait dengan putusan pra peradilan ;
2.      Kegunaan Praktis, diharapkan pengkajian ini mampu memberikan kontribusi praktis bagi para akademisi, pengambil kebijakan, pembuat undang-undang, praktisi hukum, aparatur pemegak hukum khususnya Hakim yang berhadapan langsing dengan masalah putusan pra peradilan.

E.     Kerangka Pemikiran
Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum murni merupakan teori hukum positif karena teori hukum murni ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada, sehingga teori hukum murni merupakan ilmu hukum (Jurisprudence) bukan politik hukum.[3]
Lebih lanjut Hans Kelsen mengatakan bahwa obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan hukum merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya, oleh karena itu pra peradilan menjadi suatu obyek berupa aturan hukum yang merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya.[4]
Dalam bukunya yang lain, Hans Kelsen mengatakan bahwa jika norma itu mempunyai suatu sifat umum (general character), maka ia adalah sebuah aturan normatif.[5]
Membahas mengenai pra peradilan, maka sepintas hukum pra peradilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya, bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, dikenal dengan adanya istilah Hakim Investigasi (Investigating Judge) yang merupakan salah satu aktor yang menjadi tumpuan harapan, agar terjamin tidak ada pelanggaran hak tersangka dan korban dalam tahap pra persidangan (pre trial justice).[6]
Sedangkan dalam sistem hukum di Indonesia yang mengadopsi sistem hukum Continental Law, belum ada pengaturan mengenai Hakim Investigasi atau yang di dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara yang baru disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan, salah satunya sebagaimana diatur dalam pasal 58 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana.[7]
Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.[8] Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP sebagai produk nasional Indonesia, sebenarnya merupakan penerusan asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun dalam Ned Strafvoerdering 1926 yang lebih modern.[9]
Lebih lanjut, Andi Hamzah mengatakan bahwa meskipun di dalam Ned Strafvoerdering mengenal adanya Hakim Komisaris, akan tetapi pengertian Hakim Komisaris tidak dikenal di dalam HIR dan KUHAP mengikutinya dengan nama pra peradilan yang mirip dengan fungsi hakim komisaris.[10]
Dengan adanya KUHAP, maka hukum acara pidana di Indonesia, sepenuhnya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam KUHAP, oleh karenanya KUHAP dapat dikatakan sebagai perintah yang memaksa, sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menyatakan, “Hukum adalah a coercive order, yang merupakan elemen umum yang dapat dipahami pada penggunaan kata hukum di berbagai tata hukum di dunia sehingga merupakan terminologi yang dapat dibenarkan serta merupakan konsep yang sangat signifikan bagi kehidupan sosial.”[11] Lebih lanjut Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum bukanlah pemaksa dalam artian bahwa ia menetapkan pemaksaan psikis, namun dalam artian bahwa ia menetapkan tindakan paksa yakni pencabutan nyata, kebebasan, perekonomian dan nilai-nilai lain secara paksa sebagai konsekuensi dari kondisi tertentu.[12]
Dengan demikian maka apabila mengacu kepada pendapat Hans Kelsen tersebut, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP seharusnya menjadi aturan yang harus dipatuhi di dalam setiap proses penegakan hukum, tidak terkecuali dalam hal pra peradilan.
Sebagai perbandingan, di Eropa dikenal lembaga semacam pra peradilan, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan, jadi fungsi hakim komisaris (rechter commisaris) di Belanda dan Jugde d’ Instruction di Perancis benar-benar dapat disebut pra peradilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.[13]
Terhadap keberadaan Hakim Komisaris di belanda, Van Bemmelen mengatakan bahwa hakim komisaris itu memerlukan pengetahuan yang luas, di samping pengetahuan yuridisnya seperti bagaimana caranya memeriksa saksi dan terdakwa sehingga diperlukan pengetahuan psikologi untuk semua itu.[14]
Andi Hamzah mengatakan bahwa KUHAP 1981 memperkenalkan proses pra peradilan yang apabila disimak benar-benar, arti harfiah dan maksud istilah tersebut tidak selaras, yaitu secara arti harfiah adalah tahapan pra persidangan (pre trial phase), padahal lembaga pra peradilan adalah proses yang dimaksudkan untuk memeriksa (1) apakah suatu penangkapan/penahanan sah atau tidak, (2) apakah suatu penghentian penyidikan/penghentian penuntutan sah atau tidak serta pra peradilan dimaksudkan juga untuk memeriksa permintaan ganti rugi dan atau rehabilitasi akibat penangkapan/penahanan yang tidak sah atau akibat penghentian penyidikan yang sah.[15]
Pra peradilan di Indonesia adalah merupakan gagasan awal Adnan Buyung Nasution bersama-sama dengan pakar hukum antara lain Gregory Churchill, lawyer Amerika Serikat yang sedang menjadi dosen di Universitas Indonesia, yang kemudian Adnan Buyung Nasution merumuskannya menjadi pra peradilan yang dikenal dalam KUHAP.[16]
Menurut KUHAP Indonesia, pra peradilan tidak mempunyai wewenang seluas itu, yaitu Hakim Komisaris selain berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti pra peradilan, juga menilai sah atau tidaknya sebuah penyitaan yang dilakukan oleh jaksa, dalam KUHAP tidak ada ketentuan di mana hakim pra peradilan melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan, tidak juga menentukan apakah perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.[17]
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa sepintas lalu pasal 77 KUHAP bersumber dari pasal-pasal mengenai kewenangan pra peradilan, akan tetapi ada kewenangan lain dari pra peradilan yaitu memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP.[18]
Andi Hamzah mengatakan bahwa harus diakui bahwa tugas pra peradilan di Indonesia terbatas. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 78 KUHAP yang berhubungan langsung dengan pasal 77 KUHAP yang mengatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut :
a.    Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
b.   Ganti kerugian dan / atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan adalah pra peradilan. Pra peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.[19]
Lebih lanjut, Andi Hamzah mengatakan bahwa, dalam pasal 79, 80 dan 81 KUHAP diperinci tugas pra peradilan itu yang meliputi 3 (tiga) hal pokok, yaitu sebagai berikut :
a)      Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya ;
b)      Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya ;
c)      Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan dan/atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.[20]
Secara lebih terperinci, M. Yahya Harahap menjelaskan mengenai wewenang pra peradilan, yaitu :[21]
1)   Memeriksa dan memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa :
Yaitu tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan dapat meminta kepada pra peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya ;
2)   Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan ;
Yaitu bahwa penyidik dan penuntut umu berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan akan tetapi diperlukan lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tersebut supaya tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority) ;
3)   Berwenang Memeriksa Tuntutan ganti Rugi :
Yaitu diatur dalam pasal 95 KUHAP yang menentukan tuntutan ganti kerugian diajukan tersengka berdasarkan  alasan :
-       Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah ;
-       Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang ;
-       Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa ;
4)   Memeriksa Permintaan Rehabilitasi :
Yaitu memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan ;
5)   Pra peradilan Terhadap Tindakan Penyitaan ;
Yaitu pada dasarnya setiap upaya paksa (enforcement) dalam penegakan hukum mengandung nilai Hak Asasi Manusia, oleh karena itu harus dilindungi dengan seksama dan hati-hati sehingga perampasan atasnya harus sesuai dengan “acara yang berlaku” (due process) dan hukum yang berlaku (due the law) ;
Hal berikutnya yang perlu dicermati adalah pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan pra peradilan.  M. Yahya Harahap mengatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan pra peradilan adalah :[22]
a)      Tersangka, Keluarganya atau Kuasanya :
Dalam ketentuan pasal 79 KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, bukan hanya tersangka saja tetapi dapat diajukan oleh keluarganya atau penasihat hukumya. Namun ketentuan ini tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah ;
b)     Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan :
Yaitu menurut pasal 80 KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan secara umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana, ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan ;
c)      Penyidik atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan :
Dalam hal penghentian penuntutan, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan dan secara umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana, ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan
d)     Tersangka, Ahli Warisnya atau Kuasanya :
Sesuai dengan ketentuan pasal 95 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pra peradilan dengan alasan :
-          Penangkapan atau penahanan yang tidak sah ;
-          Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau ;
-          Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan ;
e)      Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi :
Yaitu sesuai dengan ketentuan pasal 81 KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan ganti kerugian kepada pra peradilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan.
keberadaan pasal 77 KUHAP sebenarnya merupakan pijakan bagi para praktisi hukum, terutama bagi Hakim yang akan menyidangkannya. Akan tetapi mengingat bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih memberikan peluang terhadap adanya penafsiran, utamanya dari para Hakim di dalam menafsirkan obyek pra peradilan, menyebabkan saat ini terdapat putusan-putusan pra peradilan yang memeriksa obyek pra peradilan diluar dari yang diatur di dalam KUHAP. Beragamnya putusan pra peradilan ini menimbulkan disparitas antara putusan pra peradilan yang satu dengan putusan pra peradilan yang lain. Disparitas sendiri sebenarnya lebih dikenal dalam putusan pemidanaan dalam perkara pidana pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, akan tetapi secara nyata terlihat dalam lingkup pra peradilan, saat ini terdapat disparitas dalam putusan-putusannya.
Hal ini disebabkan karena Hakim memiliki kemerdekaan di dalam menjatuhkan putusan maka dalam perkara pidana yang sama kemungkinan Hakim akan menjatuhkan putusan yang bervariasi, termasuk diantaranya pada putusan pra peradilan. Keberadaan adanya disparitas pada putusan, sebenarnya pernah dikemukakan oleh Englis, sebagaimana dikutip oleh Hans Kelsen yang mengatakan,”Dengan penyangkalan dari keputusan dihasilkan dihasilkan dua keputusan yang saling berkontradiksi, tentang hal mana yang harus benar (betul) dan yang lainnya salah (tidak betul, palsu).”[23]
Disparitas pada putusan pra peradilan ini membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi putusan pra peradilan yang berbeda / disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain putusan pra peradilan yang berbeda / disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia.
Dalam kaitan pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah hukum. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dengan kata vonnis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut dengan interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dalam preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.
Muladi menyatakan bahwa disamping hal-hal yang bersumber pada hukum, maka ada hal-hal lain yang menyebabkan disparitas pada putusan, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari diri hakim sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang tidak bisa dipisahkan karena sudah terpaku sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai human equation (insan peradilan) atau personality of judge dalam arti luas yang menyangkut pengaruh pengaruh latar belakang sosial, pendidikan agama, pengalaman dan perilaku sosial.[24]
Keberadaan disparitas pada putusan pra peradilan, harus mendapat perhatian serius dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasan tertinggi dalam bidang yudisial. Hal ini harus dilakukan sebab munculnya disparitas putusan pra peradilan akan menyebabkan masyarakat menjadi tidak percaya lagi kepada institusi pengadilan dan menganggap putusan pra peradilan di pengadilan dapat “dipesan” sesuai dengan keinginan pemohon pra peradilan. Menjadi tugas dari Mahkamah Agung untuk menjaga marwah badan peradilan khususnya dalam membina Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan pra peradilan.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian dan penelaahan secara mendalam mengenai penyebab terjadinya disparitas pada putusan pra peradilan. Dengan diketahuinya penyebabnya, maka Mahkamah Agung dapat mencari solusi terhadap masalah terjadinya disparitas pada putusan pra peradilan. Akan tetapi yang paling utama dari solusi yang diberikan oleh Mahkamah Agung adalah dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada badan peradilan, khususnya bagi para pencari keadilan, sehingga badan peradilan sebagai benteng terakhir dapat memberikan rasa keadilan sebagaimana dharapkan oleh para pencari keadilan.

F.     Metode Penelitian
G.    Pada hakekatnya, penelitian hukum senantiasa harus diserasikan dengan disiplin hukum yang merupakan suatu sistem yang mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan mengadakan analisa dan konstruksi.[25]
Pengkajian tentang putusan pra peradilan ini menggunakan penelitian hukum normatif. Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah melalui pendekatan perundangan-undangan (Statute Approach)  dan pendekatan kasus (case approach). Sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library reserach) terhadap pelbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: [26]
1.    Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya.
2.    Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records), berupa  bahan-bahan   hukum   yang    dapat    memberikan   kejelasan   terhadap  bahan hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, artikel-artikel dan lain sebagainya; dan
3.    Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya.
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut, mencakup antara lain adalah :[27]
1)        Penelitian terhadap asas-asas hukum ;
2)        Penelitian terhadap sistematika hukum ;
3)        Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ;
4)        Perbandingan hukum ;
5)        Sejarah hukum ;
Data kepustakaan yang merupakan data utama penelitian ini dikumpulkan melalui metode sistematis guna memudahkan analisis permasalahan. Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Kemudian mengenai kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum pidana khususnya mengenai putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum ini. Adapun lokasi penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di Perpustakaan Balitbangdiklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Perpustakaan Mahkamah Agung RI, Perpustakan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia serta perpustakaan lain yang menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan dalam penelitian ini.
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder dan data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.[28]
Sebagai akhir dari pengolahan data, data sekunder yang diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji secara yuridis kualitatif. Deskripsi dilakukan terhadap “isi maupun struktur hukum positif”[29] yang berkaitan putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Data yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha memberikan penjelasan atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya.[30]













DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015 ;
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 ;
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006 ;
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2008 ;
Hans Kelsen, Hukum dan Logika, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2011 ;
Hans Kelsen, Teori Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012 ;
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994 ;
Sudarto, Asas-asas Hukum Pidana. FGH UNDIP Semarang , 1980 ;
Soerjono Soekanto  dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 ;
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2012
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2005 ;

DAFTAR LINK INTERNET
https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

DAFTAR PUTUSAN
Putusan Pengadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Pst a/n. BUDI GUNAWAN
Putusan Pengadilan Nomor 36/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel a/n. HADI
POERNOMO
Putusan Pengadilan Nomor 03/Pid.Pra/2015/PN.Kla a/n. SITI ZULAIKHA
Putusan Pengadilan Nomor 118/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel a/n. YEUNG MAN       FUNG
Putusan Pengadilan Nomor 1/Pid.Prap/2015/PN.Pdg a/n. H. BUDI SATRIADI,
 SKM
Putusan Pengadilan Nomor 2/Pra.Per/2016/PN.Sby a/n. A. POEDJI BUDI
 SANTOSO
Putusan Pengadilan Nomor 2/Pid.Prap/2015/PN.Kfa a/n. ONGKYSYAHRUL
 RAMADHONA
Putusan Pengadilan Nomor 1/Pid.Prap/2016/PN.Kfa a/n. JHON LAUW
Putusan Pengadilan Nomor 01/PID.Prap/2016/PN.PAL a/n.  H. SUDIRMAN
 MUHAMADIN A. MELE
Putusan Pengadilan Nomor 11/Pra.Per/2015/PN.Jkt.Ut a/n. OMAY
 CHUSMAYADI dkk


[3] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2008, h. 1 ;
[4] Ibid h. 90 ;
[5] Hans Kelsen, Hukum dan Logika, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2011, h.22 ;
[6] Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h.viii ;
[7] https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

[9]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 49 ;
[10] Ibid, h.49 ;
[11] Hans Kelsen, Teori Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, h. 25 ;
[12] Hans Kelsen, op cit, h. 40 ;
[13] Andi Hamzah, op  cit, h. 187 ;
[14] Andi Hamzah, op cit h. 189 ;
[15] Andi Hamzah – RM Surachman, op cit, h. 106 ;
[16] Ibid, h.106 – 107 ;
[17] Andi Hamzah, Ibid, h. 188 - 189 ;
[18] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 4 ;
[19] Andi Hamzah, op. cit. h. 189 – 190 ;
[20] Ibid, h. 190 ;
[21] M. Yahya Harahap, op. cit, h. 5 – 9 ;
[22] Ibid, h. 8 – 10 ;
[23] Hans Kelsen, Hukum dan Logika, op cit, h. 78 ;
[24]  Sudarto, Asas-asas Hukum Pidana. FGH UNDIP Semarang , 1980, h. 98 ;
[25]  Soerjono Soekanto  dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.. 20 ;
[26]  Ibid, h.13 ;
[27]  Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h. 14 ;
[28] Soerjono Soekanto, Ibid, h. 24 ;
[29] Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994, hlm. 6.
  [30] Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 77 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...