Kamis, 03 Mei 2018

TIPIKOR DAN HAN


PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI ASPEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (HAN)
OLEH : SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO[1]

A.     PENDAHULUAN
Sebagai negara yang sedang giat membangun, tentunya membutuhkan dana pembangunan yang sangat besar. Adalah suatu hal yang wajar apabila suatu pembangunan membutuhkan pengorbanan yang begitu besar, bisa diibaratkan bahwa tanpa ada pengorbanan dari para pelaku pembangunan tidak akan pernah ada pembangunan. Seperti apa pengorbanan dari para pelaku pembangunan tersebut? Mungkin dapat digambarkan bahwa bahwa seorang kepala daerah harus mampu mendesain dalam bentuk apa dalam membangun daerahnya, berapa dana yang dibutuhkan, berapa tenaga kerja yang dibutuhkan, apa manfaat dari pembangunan yang dirancangnya. Peran demikian dapat dikatakan bahwa terdapat pengorbanan dari seorang kepala daerah  dalam berperan aktif dalam pembangunan. Dan hal ini hanya merupakan salah satu contoh saja dari ribuan peran aktif dari masing-masing warga negara.
Peran aktif seorang kepala daerah dalam gerak pembangunan seringkali melibatkan penggunaan dana pembangunan yang begitu besar, yang seringkali menggoda sang kepala daerah tersebut untuk “sedikit” menikmatinya. Keinginan tersebut benar-benar menjadi penyakit yang tidak mudah untuk dihilangkan mengingat bahwa sifat manusiawi dari seorang manusia yang menginginkan adanya kelebihan dari apa yang tekah dilakukannya demi memuaskan keinginan pribadinya.
Perilaku kepala daerah yang menginginkan bagian dari dana pembangunan yang digunakannya seringkali dilakukan dengan melakukan berbagai hal, misalnya dengan melakukan penggelembungan (mark up) dana pembangunan, pengurangan volume pembangunan, perencanaan yang tidak komprehensif (asal-asalan), menerima imbalan dan masih banyak perilaku negatif lainnya. Dari perilaku-perilaku tersebut, sebagian merupakan wilayah dari hukum administrasi negara, adapula yang masuk ranah hukum pidana dan ada juga yang masuk ranah hukum keperdataan.
Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, seringkali melupakan hal tersebut di atas. Hampir seluruh upaya pemberantasan tindak pidana korupsi hanya dilakukan melalui ranah hukum pidana, meskipun undang-undang tindak pidana korupsi baik undang-undang nomor 31 tahun 1999 maupun undang-undang nomor 20 tahun 2001 telah secara tegas menyebutkan kata penyalahgunaan wewenang yang secara tegas maupun secara eksplisit merupakan domain dari hukum administrasi negara. 
Oleh sebab itu, seharusnya ada upaya mendudukkan kembali domain hukum adminstrasi negara di dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Harus ada good will dari para pemegang kewenangan (stake holder) untuk dapat merubah paradigma kesalahan penerapan hukum tersebut.
B.      MENDUDUKKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Perilaku penyalahgunaan wewenang yang merupakan ranah dari hukum adminstrasi negara sering dianggap sebagai delik pidana di dalam perkara tindak pidana korupsi. Para penegak hukum, khususnya pihak penyidik maupun penuntut umum, seringkali mengambil langkah gampang bahwa salah satu penyebab kerugian negara akibat korupsi adalah karena adanya penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi sering terlupakan, apakah benar telah terjadi penyalahgunaan wewenang, bagaimana bentuk penyalahgunaan wewenang, siapa pelakunya, apakah pelaku tunggal atau ada pelaku lainnya, apakah ada langkah pencegahan sebelum adanya penyalahgunaan wewenang tersebut danmasih banyak pertanyaan lain yang seharusnya dicari jawabannya secara administratif bukan secara pidana.
Penyidik maupun penuntut umum bahkan pengadilan tindak pidana korupsi tidak mempunyai kewenangan untuk menilai suatu perbuatan aparatur pemerintahan sebagai suatu penyalahgunaan wewenang. Hal ini disebabkan yang memiliki kewenangan menilai suatu perbuatan merupakan penyalahgunaan wewenang hanya dapat dinilai di pengadilan yang khusus mengadili perkara hukum adminstasi, yang dalam hal ini di Indonesia, dilakukan oleh pengadilan tata usaha negara.
C.      TINDAKAN YANG DIPERLUKAN
Ketika aparat penegak hukum mencium adanya indikasi tindak pidana korupsi yang disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang, maka apabila aparat penegak hukum tersebut akan melakukan penyidikan terhadap aparatur pemerintahan sebagai terduga pelaku penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan timbulnya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, maka aparat penegak hukum tersebut seharusnya menilai perbuatan tersebut dengan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara. Harus diakui bahwa terdapat paradigma bahwa beracara di pengadilan, termasuk di pengadilan tata usaha negara, membutuhkan waktu yang lama dan bertele-tele. Tidak berlebihan anggapan demikian sebab memang pada dasarnya proses gugatan membutuhkan proses yang panjang. Namun hal ini tidak berarti tidak dapat dipangkas sehingga menjadi lebih singkat.
Dalam ranah hukum perdata dikenal adanya gugatan sederhana, yang mengharuskan suatu gugatan atas obyek yang nilainya tidak lebih dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) harus diputuskan dalam waktu paling lama 7 hari sejak gugatan tersebut didaftarkan dan putusannya merupakan putusan akhir yang tidak ada upaya hukumnya. Hal ini kiranya dapat diterapkan di bidang administrasi khususnya di pengadilan tata usaha negara dalam menilai gugatan adanya penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan perilau korupsi dan mengakibatkan kerugian negara. Yang dinilai disini HANYA mengenai adanya penyalahgunaan wewenang, sedangkan perhitungan kerugian negara tetap menjadi domain dari pengadilan tindak pidana korupsi.
Ketika suatu gugatan mengenai penyalahgunaan wewenang telah diajukan maka harus diputuskan paling lama 7 hari sejak gugatan diterima dan putusan yang dijatuhkan merupakan putusan akhir yang tidak dapat diajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi. Apabila diputuskan terdapat penyalahgunaan wewenang, maka penyidik maupun penuntut umum dapat langsung meneruskan perkara tersebut sebagai perkara tindak pidana korupsi, namun akan lebih elok apabila aparat penegak hukum bisa memberikan tenggang waktu kepada aparatur pemerintahan yang melakukan penyalahgunaan wewenang untuk dapat mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkannya dalam periode waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang, jika dapat dikembalikan secara utuh, maka aparatur pemerintahan tersebut hanya dapat dikenakan sanksi administratif, namun apabila tidak dapt dikembalikan maka perkaranya diteruskan sebagai perkara tindak pidana korupsi, namun apabila putusannya menyebutkan tidak terdapat penyalahgunaan wewenang, maka terhadap aparatur negara yang diputuskan demikian tidak dapat diajukan dalam perkara tindak pidana korupsi. Akan tetapi apabila sudah diputuskan tidak terdapat penyalahgunaan wewenang namun secara nyata terdapat kerugian negara, berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka menjadi tugas dari penyidik dan penuntut umum untuk meneruskan pemeriksaan untuk menemukan apa penyebab terjadi kerugian negara, dengan mengesampingkan aparatur pemerintahan yang sudah diputus tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.
Pertanyaannya, bisakah hal ini dilakukan? Tentunya hal ini akan membutuhkan keinginan yang kuat dari para pemangku kepentingan di bidang hukum di Indonesia untuk dapat bersinergi untuk melindungi keuangan negara dan mencegah terjadinya perilaku koruptif.
D.     PERANAN MAHKAMAH AGUNG
Mahkamah Agung dapat mejadi pelopor dalam hal ini, setidaknya dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung yang mewajibkan setiap perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan aparatur pemerintahan diserahkan untuk diperiksa terlebih dahulu penyalahgunaan wewenang yang dilakukan di pengadilan tata usaha negara sebelum diperiksa di pengadilan tindak pidana korupsi dengan hukum acara sebagai perkara seperti gugatan sederhana.
Apabila hal ini dapat dilakukan, maka upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak menghambat laju pembagunan, mengingat saat ini banyak aparatur pemerintahan yang tidak bersedia sebagai pelaku pembangunan, baik sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen maupun jabatan sejenisnya.
E.      PENUTUP
Hukum sebagai instrumen dari suatu bangsa yang beradab akan selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakatnya. Hukum dianggap progesif adalah ketika hukum tersebut bergerak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tidak statis dan mampu merespon rasa keadilan dalam masyarakat.
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan pemikiran kita bersama dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi namun upaya tersebut juga tidak menghambat pembangunan sebab tidak ada bangsa yang maju tanpa adanya pembangunan.


[1] Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...