Kamis, 03 September 2015

PUTUSAN BAGAIKAN PEDANG BERMATA DUA


PUTUSAN BAGAIKAN PEDANG BERMATA DUA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Semakin maju tingkat peradaban manusia, maka tentunya akan semakin maju pula pemahaman dan ketaatan masyarakat pada hukum. Akan tetapi sebagaimana ilmu sosial yang lain, perubahan masyarakat pada satu sisi belum tentu merubah perilaku masyarakat pada sisi yang lain, bahkan seringkali semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang bahkan semakin berani orang tersebut melanggar hukum, dengan berbagai dalih yang pada intinya meminta “previlege” atau hak diberi prioritas dibandingkan orang lain.
Perilaku seseorang yang juga merupakan bagian dari suatu lingkungan masyarakat tentunya diharapkan dapat menjadi contoh bagi orang lain, setidaknya bagi anggota dalam masyarakat tersebut. Terlebih apabila seseorang telah mengenyam pendidikan yang tinggi, yang seharusnya ilmu yang didapatkannya dapat diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Civil sosiaty akan terlihat beradab salah satunya dari perilaku anggotanya, sehingga tingkah laku atau perilaku yang negatif tentunya akan sangat merugikan bagi kelompok masyarakat tersebut,
Contoh faktual yang masih hangat diperbincangkan adalah perilaku arogan para pengendara sepeda motor berkapasitas mesin besar (MOGE / Motor Gedhe) yang dalam setiap perjalanannya selalu mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian. Pengawalan dari pihak Kepolisian tentunya agar pengendara MOGE tersebut menjadi tertib dan juga menghindari adanya gesekan dengan masyarakat umum pengguna jalur lalu lintas dalam hal mengingat penunggang MOGE selalu dalam jumlah rombongan yang banyak. Dalam hal tertentu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, terdapat beberapa pengecualian yaitu para pengguna jalan raya dapat meminta pengawalan dari petugas Kepolisian, misalnya, kendaraan Ambulance, Pemadam Kebakaran, Kendaraan Dinas Pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan yang seluruhnya meskipun mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian, tetap harus mentaati peraturan lalu lintas dan menghormati pengguna jalan raya yang lainnya. Namun yang terjadi adalah bahwa para penunggang MOGE yang telah mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian seringkali bersikap arogan dan bersikap mau menang sendiri.
Sekelumit contoh dari pengendara MOGE tersebut, terlihat jelas bahwa seseorang baru dapat memiliki MOGE apabila sudah mencapai tingkat perekonomian yang tinggi, kecuali di kemudian hari ada tempat penyewaan MOGE, namun untuk saat ini hanya orang-orang yang memilki uang berlebih saja yang dapat membeli dan memilki MOGE, namun tingkat kesadaran berlalu lintasnya masih jauh di bawah seorang pengendara sepeda onthel.
Dalam dunia peradilanpun setali tiga uang, masih banyak orang yang merasa lebih kaya dibandingkan orang lain, meminta pelayanan lebih baik di persidangan, baik itu dengan dalil merupakan hak seseorang untuk mendapatkan keadilan atau hak seorang Terdakwa untuk bisa mendapatkan pengecekan kesehatan yang lebih baik daripada yang disediakan oleh pihak Rumah Tahanan Negara (RUTAN)  atau dengan dalil-dalil yang lain. Segala upaya diusahakan agar seseorang yang berhadapan dengan hukum bisa diperlakukan istimewa, bahkan tidak segan-segan dengan upaya-upaya negatif seperti melakukan suap kepada aparat penegak hukum, demi untuk mendapatkan perlakuan istimewa.
Harus diakui bahwa pengaruh seseorang yang berhadapan hukum, terutama ketika orang tersebut dalam kedudukan ekonomi maupun pendidikan yang tinggi juga akan sampai pada tingkat    musyawarah Majelis Hakim. Tidak bisa dipungkiri bahwa kedudukan seseorang, misalkan mantan Kepala Daerah, akan menimbulkan rasa segan dan sungkan bagi aparat hukum yang berhadapan dengannya, sehingga dalam hal ini, Majelis Hakim dalam perkara-perkara hukum yang pihaknya merupakan orang-orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi harus memakai “kaca mata kuda” sehingga putusan yang diambil adalah putusan yang benar-benar berdasarkan fakta hukum yang terbukti di persidangan dan bukan karena adanya faktor-faktor tertentu. Meski demikian, Hakim juga harus mempertimbangkan bahwa setiap putusannya tentunya akan mempunyai dua sisi yang berbeda bagaikan pedang bermata dua, yang salah satunya tajam dan sisi lainnya tumpul, adil baik pihak yang satu namun belum tentu adil bagi pihak lain.
Saatnya kita sebagai Hakim mulai memperbaiki diri dengan selalu melakukan analisa yang mendalam terhadap setiap perkara yang kita sidangkan sehingga putusan menjadi pedang bermata dua yang sama tajamnya bukan tajam ke bawah tapi tumpul ke bawah. Para Hakim harus dapat membuktikan bahwa keadilan itu ada dan merata bagi setiap orang sesuai dengan porsinya masing-masing dan keadilan itu dibutuhkan oleh setiap orang. Walahualam.








[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

COPY PASTE, HAL MUDAH NAMUN MENYULITKAN


COPY PASTE, HAL MUDAH NAMUN MENYULITKAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap pengetikan,  baik dalam bentuk makalah, jurnal, buku, karya tulis bahkan dalam bentuk suatu putusan badan peradilan, seringkali menggunakan metode penulisan “copy-paste”, sebagai sarana memudahkan untuk memudahkan pengetikan. Hal ini disebabkan karena sang penulis tidak harus mengetik ulang dari apa yang dianggap penting dari hasil karya penulisan orang lain yang akan dicantumkan atau bahkan mengulang pengetikan identitas seseorang, sebagaimana kita sering temui dalam setiap putusan badan peradilan. Sedemikan mudahnya metode pengetikan “copy-paste” menyebabkan sering terjadi kesalahan yang kadangkala tidak disadari oleh sang penulis atau orang yang melakukan pengetikan. Kesalahan tersebut akan terlihat ketika hasil pengetikan tersebut dibaca oleh orang lain, yang dalam hal inipun kadangkala sang pembaca juga tidak menghiraukannya akan tetapi beberapa orang pembaca yang teliti tentunya akan mengkritisi kesalahan penulisan tersebut. Dalam beberapa hal, kesalahan penulisan akibat metode “copy-paste” ini tidak menimbulkan akibat serius, akan tetapi lain halnya apabila kesalahan akibat “copy-paste” ini terjadi pada sebuah putusan badan peradilan. Sebagai contoh adalah dalam sebuah putusan pidana yang berisi pemidanaan terhadap seseorang, akan fatal akibatnya apabila nama orang yang akan dipidana berbeda antara yang tercantum di dalam kolom identitas dalam putusan dengan nama yang tercantum di dalam amar putusan..Kesalahan kecil namun memilki efek yang sangat besar, sehingga tentunya metode “copy-paste” harus dibarengi dengan kejelian dan ketelitian serta kehati-hatian dari penulis maupun orang yang melakukan pengetikan, meskipun harus dipahami pula bahwa metode “copy-paste” sengatlah mempermudah pengetikan dan sangat sering digunakan oleh setiap orang yang melakukan pengetikan.
MUDAH NAMUN MENYULITKAN
Perangkat komputer mulai dipergunakan di Indonesia sudah sejak awal 1980-an, dalam bentuk perangkat CPU sebesar lemari pakaian dan layar monitor yang masih hitam putih. Metode pengetikan pada awalnya adalah menggunakan system DOS yang harus menggunakan dot command yang pada saat itu sudah cukup memudahkan pengetikan dibandingkan apabila menggunakan mesin ketik, yang bentuknya masih kita jumpai di kantor-kantor pemerintah. Sistem DOS dengan dot command-nya belum ada penggunaan metode pengetikan “copy-paste”, karena sistem pengetikannya harus selalu diawali dengan mengetik perintah titik (dot-command) sehingga operator pengetikan akan selalu mengetik ulang apabila terdapat penulisan yang sama, hal ini menjamin hasil pengetikan lebih teliti dalam hal isi ketikan, baik itu mengenai identitas, lokasi, maupun lain sebagainya. Tahun 1990-an mucul sistem pengetikan yang dinamakan Wordstar (WS) namun belum menggunakan metode “copy-paste” untuk memudahkan pengetikan, meski pengetikan dengan menggunakan WS jauh lebih mudah penggunaanya dibandingkan sistem sebelumnya, namun ada kesamaan pada hasilnya yaitu hasil pengetikan terjaga di dalam pengetikannya karena operator akan selalu mengetik ulang meskipun terhadap hal yang sama. WS kemudian berkembang menjadi  MS-Word yang semakin memberikan kemudahan bagi setiap operator untuk mengoperasikannya. MS-Word, mulai diperkenalkan adanya metode pengetikan “copy-paste” yang bertujuan untuk memudahkan penggunanya melakukan pengetikan terhadap hal yang sama, sehingga tidak perlu berulangkali melakukan pengetikan hal yang sama tetapi cukup menggunakan metode “copy-paste” dan dalam sekejap sudah terketik dengan rapi. Pada masa MS-Word ini metode “copy-paste” hanya terbatas pada pengetikan huruf dan kata saja dan belum dapat dipergunakan terhadap gambar. Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, maka MS-Word sudah berkembang menjadi seperti yang kita kenal saat ini yaitu Words 2003 atau Words 2007 yang akan terus berkembang di masa mendatang. Kemudahan “copy-paste” juga semakin berkembang sehinga terhadap segala bentuk informasi elektronik dapat diterapkan metode “copy-paste”.
Sekali lagi, “copy-paste” hanyalah sarana yang akan memudahkan tugas-tugas kita di dalam melakukan pengetikan, akan tetapi hasil akhir tetaplah tergantung kepada operatornya yaitu diri kita sebagai user yang harus tetap teliti dan membaca ulang setiap hasil ketikan yang kita buat, sehingga tidak menjadikan metode “copy-paste” sebagai hal yang mudah namun menyulitkan hanya karena ketidaktelitian kita ketika melakukan pengetikan. Setidaknya, bagi kita aparatur peradilan harus lebih teliti dalam setiap pengetikan, dan hal ini harus diawali oleh Mahkamah Agung sebagai induk dari semua badan peradilan sehingga dapat menjadi contoh bagi badan peradilan di bawahnya. Wallahualam.







[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

KORUPSI , ANCAMAN MENGERIKAN BAGI APARATUR PEMERINTAHAN


KORUPSI , ANCAMAN MENGERIKAN BAGI APARATUR PEMERINTAHAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]

PENDAHULUAN
Perubahan paradigma dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin gencar dilakukan membuat masayarakat semakin sadar akan bahayanya tindak pidana korupsi. Meski demikian, upaya penegakan hukum dan penindakan atas tindak pidana korupsi yang dilakukan saat ini belum menjamin bahwa tindak pidana korupsi akan semakin terkikis atau bahkan hilang dari bumi Indonesia.
Gencarnya upaya pemberantasan korupsi membawa dampak yang signifikan bagi aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas kedinasannya, khususnya yang berkaitan dengan pengggunaan anggaran negara baik yang berumber dari APBN maupun APBD. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tahun anggaran 2015, serapan anggaran negara baik dalam APBN maupun APBD masih pada kisaran 25 % - 30 %, meskipun tahun anggaran sudah melweati pertengahan tahun, hal ini membawa dampak berkurangnya volume pembangunan di Indoensia yang secara tidak langsung akan menyebabkan berukurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Rendahnya penyerapan anggaran negara ini tidak terlepas dari adanya ketidakberanian dari aparatur pemerintahan dalam mengalokasian dan menggunakan anggaran negara. Para aparatur pemerintahan tersebut terjebak dalam paradigma penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi, yang menyebabkan aparatur pemerintahan lebih memilih mengundurkan diri daripada harus menggunakan anggaran negara.
Ketakutan aparatur pemerintahan di dalam menggunakan anggaran negara tersebut bukan hanya menyebabkan rendahnya volume pembangunan negara namun juga berimbas pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat karena tanpa ada pembangunan maka perekonomian akan berbiaya tinggi dan memakan waktu yang lama dalam setiap kegiatan perekonomian. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi kesulitan di dalam memenuhi hajad hidupnya sehingga tidak akan tercipta adanya efisiensi dalam ekonomi kerakyatan.
ANCAMAN YANG MENGERIKAN
Saat ini, setiap aparatur pemerintahnya yang mendapat tugas sebagai Pejabat Pengguna Anggaran (PPA) akan berhitung lebih cermat dalam setiap kebijakannya yang akan menggunakan anggaran negara, demikian pula setiap aparatur pemerintah yang ditunjuka sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), lebih banyak yang memilih mengundurkan diri daripada harus melaksnakan tugasnya dalam penggunaan anggaran negara namun berujung pada hotel prodeo karena diduga melakukan tindak pidana korupsi, sehingga saat ini, korupsi sudah menjadi ancaman yang mengerikan bagi aparatur pemerintahan.
Sejatinya, apabila setiap aparatur pemerintah sudah melaksanakan tugasnya sebagaimana digariskan di dalam TUPOKSI nya masing-masing, maka tentunya tidak perlu takut dengan ancaman pemidanaan akibat diduga melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, setiap aparatu pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, terbuka lebar untuk melakukan diskresi kebijakan sepanjang kebijakan yang diambil tersebut adalah demi kepentingan masyarakat dan bukan untuk kuntungan pribadi maupun golongannya.
Perlu dipikirkan pula keberadaan pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap sebagai senjata mematikan bagi setiap aparatur pemerintahan dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan anggaran negara. Kiranya perlu penilaian ter;lebih dahulu terhadap setiap kebijakan aparatur pemerintahan dalam penggunaan anggaran negara, dimana peran Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berperan aktif untuk menilai apakah kebijakan penggunaan anggaran negara dari aparatur negara, baik itu sebagai PPA maupun PPK dapat merugikan negara, sehingga ketika suatu kebijakan paratur negara di dalam penggunaan negara memang mengindikasikan adanya kerugian negara sebagaimana tercantum dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maka putusan PTUN tersebut dapat ditindaklanjuti aparat penegak hukum, baik itu KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian untuk melakukan tindakan PRO JUSTITIA, demi menyelamatkan keuangan negara.
Apabila langkah-langkah yang melibatkan PTUN benar-benar dijalankan, maka tidak ada lagi ketakutan bagi aparatur negara di dalam mengambil kebijakan  penggunaan anggaran negara, sehingga tidak menghambat laju pembangunan nasional dan akibat lanjutannya adalah pemerintah dapat menjalankan fungsinya di dalam melayani masyarakat di dalam upaya memenuhi hajad hidupnya.
Pada tarafberikutnya dengan berjalannya pembangunan, maka kesejahteraan masyarakat meningkat dan tidak ada lagi proyek pembangunan yang berhenti atau mangkrak karena adanya dugaan tindak pidana korupsi. Walahualam.



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

BURUH, ANTARA DUNIA MIMPI DAN KENYATAAN


BURUH, ANTARA DUNIA MIMPI DAN KENYATAAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Riuh rendah demonstrasi buruh pada hari Selasa tanggal 01 September 2015di seluruh pelosok Indonesia yang berpusat di Jakarta, mengingatkan kita kembali bahwa adalah suatu kenyataan bahwa setiap kegiatan perekonomian pasti membutuhkan tenaga kerja, baik tenaga kerja terdidik maupun tenaga kerja non terdidik. Konsekuensinya adalah setiap pelaku perekonomian harus menyiapkan dana yang digunakan untuk membiayai tenaga kerja yang mereka pekerjakan, baik itu dalam bentuk upah (gaji), tunjangan, uang makan, uang transportasi dan masih banyak bentuk lainnya.
Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia, menjadi tulang punggung dari kebijakan pemerintah yang khusus bagi kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia. Berbagai macam kebijakan telah diambil pemerintah dengan tujuan agar tenaga kerja di Indonesia semakin sejahtera, namun bukan hanya kesejahteraan yang dituntut oleh tenaga kerja di Indonesia (yang bisa kita sebut buruh) tetapi juga jaminan bahwa buruh di Indonesia dapat terus bekerja tanpa adanya ketakutan adanya ancaman pemutusan hubungan kerja dari perusahaan yang mengerjakannya. Disinilah peran dari Pengadilan Hubungan Industrial akan mendapat porsi sebagai penyeimbang antara kebijakan perusahaan, dengan kebutuhan hidup buruh dan regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
ANTARA DUNIA MIMPI DAN KENYATAAN
Setiap orang menginginkan bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan yang dimilkinya, atau dalam tataran yang lebih rendah, setiap orang berharap bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan yang terpenting pekerjaan yang dimilikinya mampu menghidupi diri dan keluarganya, serta berharap ada kelebihan dari penghasilan yang diterima setiap bulannya yang dapat digunakan untuk membeli rumah, meskipun secara angsuran dan untuk kebutuhan tersier lainnya demi bertambahnya kesejahteraan keluarga buruh tersebut. Pihak perusahaan juga tidak bisa berlepas tangan atas kesejahteraan buruh, mengingat bahwa hubungan antara buruh dengan perusahaan seharusnya merupakan hubungan yang bersifat “simbiosis mutualis” atau hubungan yang saling menguntungkan, yaitu perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari hasil kerja buruh dan buruh mendapatkan keuntungan berupa penghasilan yang diterima setiap bulan.
Ketika seseorang telah menyelesaikan pendidikannya atau ia harus menyelesaikan pendidikannya dengan alasan ekonomi, tentunya orang tersebut akan berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Tidak setiap orang mampu bersaing dan mendapatkan pekerjaan sebagaimana yang ia inginkan dan seringkali menjadi buruh (kasar) menjadi pilihan terakhir, daripada tidak mempunyai pekerjaan yang dapat menyambung kehidupannya. Dari sudut pandang perusahaan, tentunya menginginkan mendapatkan buruh yang dapat dibayar dengan harga yang murah, yang tentunya dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan, mengingat saat ini masih banyak ditemui praktek biaya siluman dalam biaya produksi di Indonesia, disamping masih tumpang tindihnya peraturan. Harus diakui  bahwa peraturan ketenagakerjaan selalu bersinggungan dengan peraturan bidang lain, misalnya peraturan perpajakan maupun peraturan-peraturan lainnya, sehingga tentu saja hal ini membuat ketidakharmonisan hubungan industrial di Indonesia sebab perusahaan yang selalu dibebani dengan berbagai macam biaya produksi, juga dibebani untuk memberikan kesejahteraan yang baik kepada setiap tenaga kerjanya sedangkan buruh juga selalu menuntut perbaikan kesejahteraan yang semakin baik sebagaimana diimpikannya sehingga bisa membahagiakan diri dan keluarganya, namun seringkali pula melupakan bahwa kesejahteraan yang didapatnya sangat ergantung dari hasil kerjanya pada perusahaan dimana buruh tersebut bekerja. Buruh selalu memimpikan gajinya mampu mencukupi kebutuhannya, tidak hanya kebutuhan primer namun juga kebutuhan sekunder dan tersier, namun hal tersebut selalu terganjal dengan kebijakan perusahaan dan juga berbagai peraturan ketenagakerjaan serta kebutuhan hidup yang semakin mahal yang semakin tidak terjangkau oleh penghasilan buruh tersebut.
Hal inilah yang menimbulkan dunia buruh bagaikan dunia mimpi dan kenyataan. Buruh bermimpi bisa hidup berkecukupan dari penghasilannya namun mimpi tersebut hanya tinggal mimpi menginggat begitu tingginya biaya hidup maupun ketatnya kebijakan perusahaan dan tumpang tindihnya peraturan yang ada yang membuat kehidupan buruh semakin tertekan, yang pada akhirnya berujung pada pemutusan hubungan kerja dan berakhir pada gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Peran dari PHI yang merupakan ultimum remedium, diharapkan bisa menjadi penyeimbang antara buruh, pengusaha dan pemerintah.Wallahualam.







[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...