Kamis, 24 Februari 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 7)

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 7)

Pembahasan selanjutnya adalah pasal 271 KUH Pidana yang menyebutkan sebagai berikut :
(1) Barangsiapa membikin palsu atau memalsukan surat pengantar kerbau atau sapi, atau barangsiapa menyuruh memberikan surat yang serupa itu atas nama palsu atau nama kecil, atau dengan menyuruh menggunakan surat itu kepada orang lain seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya cocok dengan yang sebenarnya, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan yang tersebut dalam ayat pertama, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya. (Lihat ketentuan pasa 64 ayat (2) dan pasal 241 KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 271 KUH Pidana tersebut maka dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Menurut Lembaran Negara tahun 1902 No.449, maka pembawaan kerbau atau sapi dari satu Kawedanan (sekarang bisa disebut sebagai Kabupaten/Kota) ke lain Kawedanan, harus disertai surat pengantar yang dikeluarkan oleh Wedana (Bupati/Walikota) atau pegawai yang ditunjuk untuk itu (sekarang dapat disebut dengan Kepala Dinas yang mengurus hal tersebut);
2. Pegawai yang membuat surat keterangan palsu (surat penghantar) itu dan orang yang dengan sengaja memakai surat penghantar yang dipalsukan itu dapat dikenakan pasal ini;
3. Pasal ini mengatur mengenai perdagangan hewan ternak seperti kerbau atau sapi antar daerah yang di dalam pengantarannya harus disertai dengan surat keterangan yang menerangkan mengenai kondisi kesehatan dari hewan tersebut. (BERSAMBUNG).




0 K

Rabu, 09 Februari 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 6)

 

Melanjutkan pembahasan mengenai pemalsuan surat, maka selanjutnya kita akan membahas ketentuan pasal 270 KUH Pidana, yang menyebutkan :
(1) Barangsiapa membikin palsu atau memalsukan pas jalan atau sesuatu surat yang boleh jadi pengganti pas jalan, surat keselamatan, surat perintah berjalan atau sesuatu surat yang diberikan menurut peraturan undang-undang tentang memberi izin kepada orang Belanda atau orang asing akan masuk dan tetap tinggal di Negara Indonesia atau barang siapa yang menyuruh memberikan surat yang serupa itu atas nama palsu atau nama cecil palsu atau dengan menunjukkan keadaan palsu dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh menggunakan surat itu kepada orang lain, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya cocok dnegan hal sebenarnya, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan sesuatu surat atau yang dipalsukan yang tersebut dalam ayat pertama, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya (Lihat ketentuan pasal 64 ayat (2) dan pasal 263 KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 270 KUH Pidana tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Yang menjadi obyek pemalsuan dalam pasal ini adalah : a. Surat pas Jalan (sekarang mungkin bisa disamakan dengan paspor), b. Surat pengganti pas jalan (sekarang bisa disamakan dengan Surat Perjalanan Laksana Paspor yang diterbitkan saat paspor yang kita miliki hilang saat berada di luar negara Indonesia), c. Surat keselamatan (jaminan atas keamanan diri, saat ini sudah tidak ada lagi), d. Surat perintah jalan (sekarang bisa disebut dengan Surat Tugas), e. Surat-surat lain yang diberikan menurut peraturan perundang-undangan izin masuk ke Indonesia, sebagaimana tersebut dalam Lembaran Negara (LN) 1949 No.331, misalnya : Surat Ijin Masuk (sekarang disebut Visa), paspor, surat zin mendarat (sekarang diberikan oleh Kementerian Perhubungan kepada setiap pesawat yang akan mendarat), surat izin berdiam (sekarang disebut KITAS/Kartu Ijin Tinggal Sementara dan KITAP/Kartu Ijin Tinggal Tetap) dan surat-surat lainnya.
Dari penjelasn terebut, pasal 270 KUH Pidana ini lebih banyak ditujukan kepada Pejabat/Petugas Keimigrasian yang berhubungan dengan keluar masuknya warga negara asing (WNA) yang datang dan tinggal di Indonesia. (BERSAMBUNG).

Selasa, 08 Februari 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 4)

 

Melanjutkan pembahasan mengenai Memasukan Surat, maka kita kan membahas ketentuan Pasal 267 KUH Pidana. Pasal tersebut menyebutkan :
(1) Tabib yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang adanya atau tida adanya sesuatu penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun;
(2) Kalau keterangan itu diberikan dengan maksud supaya memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit ingatan (rumah sakit jiwa) atau supaya ditahan di sana, maka dijatuhkan hukuman penajra selama-lamanya 8 (delapan) tahun 6 (enam) bulan;
(3) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang lain sebenarnya. (lihat ketentuan pasal 35, 52, 64 ayat(2) pasal 268 huruf s, pasal 276 dan pasal 468 KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 267 ini, maka dapat diberikan penjelasan singkat sebagai berikut :
1) Yang dihukum menurut pasal ini ialah seorang tabib (dokter) yang dengan sengaja memmberikan surat keterangan (bukan keterangan lisan) palsu tentang ada atau tidak adanya sesuatu penyakit, kelemahan atau cacat. Anacaman hukumannya ditambah, apabila surat keterangan yang dipalsu itu untuk dipakai guna memalsukan atau menahan orang dalam rumah sakit gila;
2) Pun dihukum pula orang yang mempergunakan surat keterangan palsu dari tabib tersebut seolah-olah tidak palsu, asal orang itu mengetahui akan kepalsuan surat tersebut.
Sebagai catatan, perlu diperhatikan juga bagi setiap orang yang senang mempergunakan surat keterangan sakit untuk ijin tidak masuk kantor atau untuk tidak masuk sekolah, padahal orang yang mempergunakan surat tersebut sehat wal afiat. Aapbila diketahui hal tersebut, maka baik dokter yang memberikan surat keterangan palsu maupun orang yang mempergunakan surat keterangan palsu tersebut dapat diproses hukum dan dipidana. (BERSAMBUNG).

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 5)

 

Setelah kita membahas pasal 268 KUH Pidana, maka selanjutnya kita akan membahas ketentuan pasal 269 KUH Pidana, yang menyebutkan sebagai berikut :
(1) Barangsiapa yang membuat surat keterangan palsu atau memalsukan surat keterangan tentang kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, hal cacat atau keadaan lain-lain, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu supaya dapat masuk pekerjaan atau dapat menerbitkan kemurahan hati dan perasaan suka memberi pertolongan, dihukum penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan;
(2) Dengan hukuman seupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan sesuatu surat keterangan palsu atau yang dipalsukan yang tersebut dalam ayat pertama, seolah-olah surat itu surat asli dan tidak dipalsukan.
Dari ketentuan pasal 269 KUH Pidana ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
* Bahwa yang dikenakan pasal ini adalah:
1. Orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat keterangan tentang kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, cacat atau keadaan-keadaan lain dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh menggunakan surat itu supaya dapat masuk pekerjaan, menerbitkan kemurahan hati atau perasaan suka memberi pertolongan;
2. Orang yang menggunakan surat semacam itu sedang ia tahu akan kepalsuannya;
* Dalam kenyataan sering ditemui adanya Surat Keterangan yang berisi keterangan palsu yang beredar dalam masyarakat dan sengaja digunakan untuk berbagai kepentingan baik disengaja maupun tidak disengaja. Perilaku demikian, baik yang membuat maupun yang menggunakan terancam dalam pasal 269 KUH Pidana ini. (BERSAMBUNG).

Rabu, 19 Januari 2022

THE JUGDE MAKES LAW

 Catatan kecil beberapa waktu yang lalu

THE JUGDE MAKES LAW
Sebagaimana kita telah pahami bahwa salah satu SUMBER HUKUM adalah JURISPRUDENSI (Putusan Pengadilan) dan HAKIM merupakan SUBYEK dari setiap Putusan Pengadilan, tentunya tidak setiap PUTUSAN bisa dijadikan Jurisprudensi, hanya putusan-putusan yang berisikan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan memenuhi rasa keadilanlah yang dapat dijadikan JURISPRUDENSI.
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," sehingga demgan demikian telah jelas bahwa HAKIM memilki payung hukum di dalam pelaksanaan tugasnya, utamanya adalah dalam pembuatan PUTUSAN.
Oleh sebab itu, maka dituntut kemandirian dan juga kecakapan dari HAKIM itu sendiri untuk menganalisa setiap perkara yang disidangkannya, sebab meskipun HAKIM diberi kebebasan di dalam setiap putusannya, akan tetapi HAKIM juga harus memahami ketentuan Pasal 68 A Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya ;
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimakud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar ;
Dengan demikian, pada dasarnya, putusan yang baik adalah putusan yang didasarkan pada fakta persidangan dan didasarkan pula pada daar hukum yang benar dan tepat, sehingga Hakim tidak dapat menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.
Harus diingat pula bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak perkara.
Kiranya apabila suatu PUTUSAN HAKIM telah berdasarkan pada fakta persidangan dan dasar hukum yang benar dan tepat, akan menjadikan PUTUSAN HAKIM tersebut bisa menjadi suatu YURISRUDENSI, dan meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut ketaatan pada suatu yurisprudensi yang harus selalu diikuti, tetapi setidaknya putusan hakim terdahulu (yang baik) dalam perkara yang serupa dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Rabu, 12 Januari 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 2)

Selanjutnya kita akan bahas ketentuan Pasal 264 KUHP yang terdiri dari 2 (dua) ayat, yang menyebutkan sebagai berikut :

(1) Si tersalah dalam perkara memalsukansurat, dihukum penjara selama-lamanya 8 (delapan) tahun, kalau perbuatan tersebut dilakukan :
a) Mengenai surat otentik (lihat ketentuan pasal 266 KUHP);
b) Mengenai surat utang atau surat tanda utang (certificaat) dari sesuatu surat negara atau sebahagiannya atau dari sesuatu balai (instelling) umum;
c) Mengenai saham-saham (nandeel) atau surat atau certificaat tanda saham atau tanda utang dari sesuatu perserikatan, balai atau perseroan atau maskapai;
d) Mengenai talon atau surat tanda utang sero (deviden) atau tanda bunga uang dari salah satu surat yang diterangkan pada huruf b dan huruf c, atau tentang surat keterangan yang dikeluarkan akan pengganti surat itu;
e) Mengenai surat utang piutang atau surat perniagaan yang akan diedarkan;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya, ayat pertama, seolah-olah itu surat asli dan tidak dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
Dari ketentuan Pasal 264 tersebut daat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Bahwa sudah tentu perbuatan yang diancam dalam pasal ini harus memuat elemen-elemen atau syarat-syarat yang termuat dalam asal 263 dan selain itu ditambah dengan syarat, bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat otentik dan sebagainya tersebut, berturut-turut, pada huruf a sampai dengan huruf e, bersifat umum dan tetap mendapat kepercayaan dari umum.
2. Tentang arti TALON dan DEVIDEN ada pada pasal 4 KUHP, sedangkan CERTIFICAAT dapat diartikaan sebagi surat bukti. Akte otentik adalah akte yang dibuat dihadapan seorang Pegawai Negeri yang berhak untuk itu, biasanya Notaris, Pegawai Catatan Sipil dan lain sebagainya. Seagai catatan, pada waktu KUHP ini dibuat yaitu sekitar tahun 1918, Notaris masih masuk sebagai Pangreh Praja atau Pegawai Negeri.
Mengenai ketentuan Pasal 4 KUHP akan kami bahas pada waktu yang akan datang, mengingat pasal 4 KUHP ini juga cukup panjang penjelasannya. (BERSAMBUNG).

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 3)

 MEMALSUKAN SURAT (Bagian 3)

Melanjutkan pembahasan mengenai perihal Memalsukan Surat, maka kita akan membahas ketentuan selanjutnya, yaitu Pasal 265 KUH Pidana dan Pasal 266 KUH Pidana. Ketentuan Pasal 265 KUH Pidana telah dihapuskan dengan Staatblad No. 259 jo. No. 426 Tahun 1926, sehingga ketentuan pasal ini tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Selanjutnya, dalam Pasal 266 KUH Pidana menyebutkan :
(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendapatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian. (lihat ketentuan pasal 35, 52, 64, 262 ayat (1), 274, 279, 451 bis, 451 ter, 452 dan pasal 486).
Dari ketentuan Pasal 266 KUH Pidana tersebut, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Yang dimaksud dengan akten otentik yaitu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat yang ditetapkan oleh pegawai umum. Contoh paling gampang dari akte otentik adalah akte atau akta yang dibuat oleh Notaris atau akta kelahiran, akta kematian dan lain sebagainya;
2. Yang dapat dihukum menurut pasal ini misalnya orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijk Stand (Pegawai Yang Berwenang) untuk dimasukkan ke dalam akte kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersbeut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan akte itu seolah-olah keterangan yang termuat di dalamnya itu benar. Yang dimaksudkan akte dalam hal ini tidak saja akte kelahiran namun juga dalam bentuk akte lainnya.
(3) Yang diancam hukuman itu tidak hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar dan sebagainya, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan yang tidak benar itu. Dalam kedua hal ini senantiasa harus dibuktikan, bahwa orang itu seakan-akan surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian;
(4) Orang yang memberikan keteranagan palsu (tidak benar) kepada pegawai, polisi untuk dimasukkan ke dalam proses verbal itu dapat dikenakan pasal ini, karena proses verbal gunanya bukan untuk membuktikan kebenaran dari keterangan orang itu, tetapi hanya untuk membuktikan bahwa keterangan yang diberikan orang itu demikian adanya. Ini beda sekali halnya dengan surat (akte) kelahiran yang gunanya benar-benar untuk membuktikan kelahiran itu;
(5) Dapat dihukum menurut pasal ini misalnya pedagang yang menyuruh membuat persetujuan dagang kepada seorang notaris mengenai sebidang tanah, jika terlebih dahulu ia telah menjual tanah itu kepada orang lain. Dalam hal ini, maka akte notaris merupakan surat yang digunakan sebagai bukti terhadap suatu pemindahan hak milik. Kerugian yang akan diderita oleh pembeli sudah terang, ialah jumlah uang yang telah dibayar untuk pembelian itu yang bukan semestinya, biaya notaris dan sebagainya. Pun dapat dihukum pula seorang yang menyuruh pegawai Kantor Pencatatan Jiwa (Kantor Catatan Sipil) untuk membuat akte kelahira seorang anak dari istrinya dengan nama kecil A, sedangkan anak itu sebenarnya telah dilahirkan oleh perempuan lain daripada istrinya itu, sehingga pemakaian akte itu dapat menimbulkan kerugian bagi anaknya yang sebenarnya. Akan tetapi menurut Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Indramayu tanggal 17 Januari 1939 (ditulis oleh Mr. W.F.L. Busshkens), maka seorang terdakwa yang telah menikah di hadapan penghulu, sambil tidak mengatakan pada saat itu bahwa antara mereka ada hubungan paman dan keponakan, hubungan kekekluargaan mana menurut hukum Islam merupakan penghalang untuk menikah, tidak menimbulkan pemalsuan surat, oleh karena apa yang biasa dinamakan SURAT KAWIN (Surat Nikah) itu hubungan kekeluargaan yang ada antara pihak-pihak yang menikah tidak pernah disebutkan. Hal ini berarti bahwa kekita kedua mempelai akan menikah dan dari awal tidak menyebutkan bahwa kedua mempelai mempunyai hubungan keluarga berupa paman dan keponakan, tidak membatalkan pernikahan kedua mempelai.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...