Kamis, 27 Juni 2024

HARTA BERSAMA

 


 

            Pernikahan adalah idaman setiap orang karena dengan pernikahan, akan terbentuk keluarga baru, melahirkan anak-anak sebagai generasi penerus dan juga akan terbentuk adanya harta bersama yang menjadi milik keluarga tersebut. Tentu akan sangat mustahil suatu keluarga bisa bertahan apabila tanda didukung dengan harta, meskipun mengenai jumlah harta yang dimiliki oleh masing-masing keluarga bersifat relatif, tidak ada ketentuan bahwa keluarga dengan harta yang banyak pasti akan menjadi keluaarga yang bahagia.

            Namun setidaknya,keberadaan suatu keluarga pasti akan didukung dengan keberadaan harta milik keluarga tersebut, yang bisa berasal dari harta bawaan yaitu harta yang berasal dari masing-masing orang yang akan menikah atau harta yang diperoleh selama pernikahan. Harta yang diperoleh selama pernikahan ini yang disebut dengan istilah HARTA BERSAMA.

Dalam Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikenal harta bersama. Dalam pasal tersebut, harta dalam perkawinan (rumah tangga) dibedakan menjadi:

  1. Harta yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi “harta bersama”; dan
  2. Harta bawaan masing-masing suami istri, baik harta tersebut diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, contohnya, hadiah atau warisan. Harta pribadi sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Kemudian, pertanyaannya, apakah dalam Hukum Islam sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga dikenal dengan Harta Bersama? Di dalam Pasal 85 – Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebut bahwa harta perkawinan dapat dibagi atas:

  1. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan;
  2. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan;
  3. Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri;
  4. Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;
  5. Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

T. M. Hasbi Ash Shiddiqie dalam buku Pedoman Rumah Tangga (hal. 9), berpendapat bahwa dengan perkawinan, menjadikan sang istri syirkatur rojuli filhayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup), maka antara suami istri dapat terjadi syarikah abadan (perkongsian tidak terbatas).

Itulah sebabnya di Pengadilan Agama ketika ada orang Islam bercerai dan mempersoalkan harta yang diperoleh selama perkawinan, maka akan dipertimbangkan harta dalam perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 85 – Pasal 97 KHI.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memandang bahwa dengan adanya aqd perkawinan, terjadilah syirkah baik dalam harta dan lain-lain, sehingga apabila terjadi perceraian baik cerai hidup atau mati, masing-masing mendapatkan sebagian dari harta bersama sedangkan pembagian harta bersama ini dalam KHI bukan sesuatu yang mutlak, karena pada prinsipnya filosaofi dalam pembagian harta bersama adalah nilai yang dapat dicapai dengan musyawarah yang didasari prinsip perlindungan hukum, keimanan, keadilan, keseimbangan, musyawarah dan kasih sayang.

Jadi kesimpulannya, berkaitan dengan harta bersama ini, maka pembagiannya ketika terjadi perceraian baik cerai hidup atau mati adalah :

1)    Untuk Hukum Perdata Barat, harta bersama dibagi rata yaitu masing-masing menerima 50%;

2)    Dalam Kompilasi Hukum Islam, meski mengakui adanya harta bersama namun pembagiannya tidak mutlak harus dibagi rata namun bisa bersadarkan musyawarah ataupun berdasarkan kepentingan yang lain misalnya kepentingan pendidikan anak.

Demikian pembahasan singkat mengenai Harta Bersama yang semoga bisa menjadi pencerahan bagi kita semua, khususnya bagi yang akan menghadapi perkara perceraian.

Bentuk Surat Dakwaan Dalam Hukum Pidana Indonesia

 


Dalam hukum pidana dikenal yang namannya surat dakwaan atau kalau di hukum perdata dikenal sebagai surat gugatan. Surat dakwaan ini yang merupakan awal dilakukannya proses penuntutan, dibuat oleh Penuntut Umum yang akan menjadi dasar dilakukannya pemeriksaan di persidangan.

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa yang dimasud dengan surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Sedangkan Andi Hamzah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan surat dakwaan adalah dasar penting hukum acara pidana, karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu.

Selanjutnya mengenai surat dakwaan, diatur terperinci di dalam pasal 145 KUHAP yang menyebutkan:

(1)  Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan;

(2)  Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: :

a.    Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b.    Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwaakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan;

(3)  Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, batal demi hukum;

(4)  Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri;

Mengenai bentuk surat dakwaan, dalam teori hukum acara pidana, dikenal beberapa bentuk surat dakwaan, antara lain adalah:

1)    Dakwaan Tunggal, yaitu surat dakwaan yang disusun dengan hanya mencantumkan 1 (satu) pasal dari KUH Pidana yang akan didakwakan kepada Terdakwa. Misalnya, Penuntut Umum hanya mencantumkan pasal 362 KUH Pidana dalam surat dakwaannya. Pembuktiannya langsung pada pasal yang didakwakan;

2)    Dakwaan Subsidairitas, yaitu surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum dengan mencantumkan pasal yang didakwakan yang disusun secara subsidairitas atau disusun dari mulai dakwaan primair dilanjutkan dengan dakwaan subsidair dilanjutkan dengan dakwaan lebih subsidair dilanjutkan dengan dakwaan lebih lebih subsidair dilanjutkan dengan dakwaan lebih lebih lebih subsidair dan seterusnya. Biasanya tersusun hanya sampai pada tingkat lebih subsidair. Misalnya adalah dakwaan primair pasal 340 KUH Pidana, dakwaan subsidair pasal 338 KUH Pidana dakwaan lebih subsidair pasal 351 ayat (3) KUH Pidana. Demikian juga untuk tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain yang tidak diatur di dalam KUH Pidana. Pembuktiannya dilakukan dengan membutikan dakwaan primair, jika tidak terbukti maka akan dibuktikan dakwaan subsidair, demikian seterusnya;

3)    Dakwaan Alternatif, yaitu surat dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum dengan mencantumkan dakwaan pertama/kesatu diikui dengan kata ATAU dakwaan kedua dan seterusnya. Misalnya adalah dakwaan kesatu/pertama adalah pasal 330 KUH Pidana (pasal tentang perjudian) ATAU dakwaan kedua pasal 330 (bis) KUH Pidana (juga pasal tentang perjudian). Pembuktiannya langsung pada pasal yang kiranya sesuai dengan fakta yang terbukti selama persidangan;

4)    Dakwaan Kumulatif, ada 2 (dua) bentuk dakwaan kumulatif, yaitu:

a)    Surat dakwaan yang disusun dengan menggunakan kata DAN, misalnya dakwaan pertama/kesatu pasal 362 KUH Pidana DAN dakwaan kedua pasal 170 ayat (1) KUH Pidana, atau;

b)    Surat dakwaan yang mengkumulatifkan antara dakwaan subsidairitas dengan dakwaan dakwaan alternatif, misalnya dakwaan primair pasal 340 KUH Pidana, dakwaan subsidair pasal 351 ayat (3) KUH Pidana ATAU pasal 170 ayat (1) KUH Pidana. Pembuktiannya dilakukan dengan cara melihat fakta hukum yang terbukti selama persidangan, yaitu apabila faktanya adalah pada dakwaan subsidairitas, maka dibuktikan dulu dakwaan primair yang apabila tidak terbukti akan dibuktikan dakwaan subsidair, atau apabila fakta hukum yang terbukti adalah dakwaan alternatif, maka akan langsung dibuktikan dakwaan alternatif.

Demikian penjelasan singkat mengenai metode penyusunan surat dakwaan agar bisa menjadi pengetahuan kita bersama saat kita mendapat berita mengenai persidangan suatu kasus tindak pidana.Mengenai pertimbangan majelis hakim terhadap surat dakwaan dari Penuntut Umum akan kami bahas pada bagian yang lain. Terima kasih.

KENAPA ORANG MELAKUKAN KORUPSI? (Bagian 2/Tamat)

 


 

            Melanjutkan pembahasan mengenai penyebab orang melakukan korupsi, maka kita akan membahas beberapa penyebab lainnya. Beberapa penyebab tersebut adalah :

3.  Adanya Peluang

Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya peluang melakukan suatu tindak pidana, bisa menjadi penyebab seseorang atau beberapa orang melakukan tindak pidana korupsi. Seperti adegium dalam hukum pidana, suatu tindak pidana bisa terjadi tidak hanya karena niat dari pelakunya tetapi juga karena ada peluang untuk melakukannya. Harus diakui bahwa dalam tindak pidana korupsi, peluang sekecil apapun akan dimanfaatkan oleh para pelakunya.

Peluang melakukan tindak pidana korupsi tentu akan dimanfaatkan oleh pelakunya, mengingat dengan melakukan korupsi, maka hasil yang didapatkan akan sangat menguntungkan secara ekonomis. Sebagai gambaran, ketika seorang Kepala Dinas yang juga merupakan seorang Pejabat Pemegang Komitmen (PPK) dari suatu proyek pembangunan yang dibiayai oleh APBD, yang mempunyai kewenangan untuk menentukan keberlangsungan suatu proyek pembangunan, mendapat peluang untuk sedikit “menggeser” data keuangan dari suatu proyek pembangunan dan ia menggunakan peluang tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari keuangan proyek pembangunan untuk dirinya maupun keluarga atau golongannya. Kemudian Kepala Dinas tersebut, melakukan pengurangan takaran atau ukuran semen yang digunakan untuk proyek pembangunan tersebut, tentu ia akan mendapatkan keuntungan dari perbuatannya tersebut, namun bisa mengakibatkan proyek pembangunan yang dibawah kewenangannya tersebut menjadi tidak sesuai dengan rencana pembangunannya. Bisa dibayangkan akibat yang akan terjadi, bisa hasil proyek pembangunan tersebut akan rusak sebelum waktunya.

4.  Aji Mumpung

Penyebab ini sebenarnya berkaitan dengan penyebab adanya peluang, yaitu ketika seseorang memegang jabatan publik yang berkaitan dengan keuangan negara maupun keuangan daerah. Aji mumpung bisa diartikan sebagai menggunakan kesempatan ketika mempunyai kewenangan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan. Tentu kita tidak menghendaki adanya seorang pejabat publik yang menggunakan aji mumpung dalam melaksanakan tugas-tugasnya karena pejabat publik tersebut harus menyadari bahwa ia menjadi pejabat publik tentu harus membawa kemanfaatan bagi masyarakat dan juga negaranya, bukan justru merugikannya.

5.  Keinginan Untuk Menjadi Kaya

Siapapun pasti ingin kaya dan siapapun juga mempunyai hak untuk menjadi kaya, akan tetapi proses menjadi kaya itulah yang harus menjadi perhatian kita bersama. Saat ini muncul anekdot, bahwa orang Indonesia bisa menjadi kaya, disebabkan 2 (dua) hal utama, yaitu dikarenakan dirinya melakukan pesugihan atau dirinya melakukan korupsi. Apabila anekdot tersebut benar, tentu sangat miris mendengarnya., sehingga muncul nasihat yang terdengar bijak, kalau ingin kaya, jangan jadi pegawai negeri sipil atau pejabat karena susah menjadi kaya, tetapi harus menjadi pengusaha. Akan tetapi kenyataannya, meskipun seseorang menjadi pegawai negeri sipil atau pejabat, justru seakan mendapatkan peluang untuk menjadi kaya dengan cara melakukan korupsi.

Tentu tidak salah keinginan untuk menjadi kaya tetapi cara menjadi kaya tersbeut yang tentu harus sesuai dengan norma agama maupun norma hukum sebab bagaimanapun masyarakat Indonesia masih memegang teguh norma agama dan juga norma hukum.

            Kiranya, beberapa penyebab seseorang melakukan korupsi sebagaimana telah diuraikan di atas, bisa menjadi bahan koreksi bersama kita. Tentu kita tidak menginginkan upaya membangun bangsa dan negara kita menjadi rusak karena adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh segelintir orang yang ingin memperkaya dirinya sendiri. Pencegahan tentu akan lebih baik dibandingkan dengan pemberantasan, dikarenakan upaya pemberantasan tentu akan membutuhkan energi yang tidak sedikit dan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit pula, padahal mungkin hasil dari pemberantasan tersebut tidak sesuai dengan apa yang sudah dilakukan dalam pemberantasan korupsi.

 

 

 


Senin, 24 Juni 2024

Sidang Pra Peradilan Bukan Untuk Membebaskan Tersangka



 

            Sampai hari ini masih banyak yang belum paham mengenai Sidang Pra Peradilan. Banyak yang mengira bahwa dalam sidang Pra Peradilan, bisa membebaskan seseorang atau beberapa orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana.

            Sebenarnya, perihal sidang Pra Peradilan, sudah diatur di dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Harus diakui bahwa masih banyak masyarakat yang masih belum memahami hukum, meskipun sudah menjadi adegium hukum bahwa dengan diundangkannya suatu peraturan perundang-undangan, maka masyakarakat dianggap telah tahu dan memahami peraturan perundangan tersebut.

            Berdasarkan ketentuan Pasal 77 KUHAP tersebut, sidang Pra Peradilan yang dilakukan berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang :

a.    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.    Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dari ketentuan Pasal 77 KUHAP ini sebenarnya sudah diperluas pengertiannya oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tahun 2014, yaitu termasuk di dalamnya adalah mengenai penetapan tersangka, meskipun dalam putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa untuk menetapkan seseorang atau beberapa orang sebagai tersangka harus dengan 2 (dua) alat bukti yang cukup.

Dari pengertian sebagaimana tersebut dalam huruf a dan b maupun yang telah diputusakan oleh Mahkamah Konstitusi, kita bedah satu persatu supaya kita bisa paham apa maksud di dalamnya.

1)    Sah atau tidaknya penangkapan, permohonan Pra Peradilan hanya dapat diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasa tersangka, diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasan-alasannya;

2)    Sah atau tidaknya penahanan, permohonan Pra Peradilan hanya dapat diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasa tersangka, diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasan-alasannya;

 

3)    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan/penghentian penuntutan, permohonan Pra Peradilan hanya dapat diajukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum (Jaksa) atau pihak ketiga yang berkepentingan, diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. Pihak ketiga yang dimaksud dalam hal ini adalah pihak korban atau pihak lain yang berkepentingan dalam perkara pidana yang dihentikan oleh penyidikan atau penuntutannya;

4)    Sah atau tidaknya penetapan tersangka, sebenarnya ini merupakan perluasan dari Pra Peradilan yang saling berkaitan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah dalam suatu perkara pidana adalah :

1.  Keterangan saksi;

2.  Keterangan ahli;

3.  Surat;

4.  Petunjuk;

5.  Keterangan Terdakwa / Tersangka dalam proses penyidikan perkara pidana;

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP itulah, apabila pihak Penyidik, baik itu Kepolisan maupun Kejaksaan, yang akan menyatakan seseorang atau beberapa orang sebagai tersangka suatu tindak pidana, minimal harus didasarkan pada 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, misalnya sudah ada keterangan saksi dan keterangan ahli atau sudah ada keterangan ahli dan surat, demikian seterusnya.

            Dari penjelasan Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP tersebut, maka sebenarnya Sidang Pra Peradilan adalah sarana bagi pihak-pihak yang oleh penyidik dinyatakan sebagaimana ketentuan Pasal 77 dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.  Sehingga dengan demikian, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut :

1)    Sidang Pra Peradilan hanya sebagai sarana untuk menilai kinerja penyidik apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundangan yang sudah ditentukan, yaitu sebagaimana ketentuan Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP dan ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi;

2)    Sidang Pra Peradilan tidak ditujukan untuk membuktikan benar tidaknya perbuatan tersangka, karena untuk membuktkan benar tidaknya perbuatan tersangka akan dilakukan pada persidangan perkara pokoknya bukan pada sidang Pra Peradilan;

3)    Ketika penyidik dinyatakan dalam sidang Pra Peradilan telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka seseorang atau beberapa orang yang telah dilakukan tindakan dengan mengeluarkn Penetapan sesuai dengan Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka Penetapan tersebut harus dibatalkan, akan tetapi penyidik dapat mengulangi proses penyidikan dengan berdasarkan ketentuan yang berlaku;

4)    Contohnya, jika seseorang dinyatakan sebagai tersangka oleh Penyidik dan dalam sidang Pra Peradilan dinyatakan penetapan sebagai tersangka tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti, maka Penetapan sebagai tersangka harus dicabut, akan tetapi penyidik dapat mengeluarkan Penetapan yang baru terhadap orang tersebut sebagai tersangka dengan mendasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang benar dan bukan mengaada-ada;

5)    Pembuktian benar tidaknya perbuatan seorang tersangka akan dibuktikan di persidangan perkara pokoknya yaitu dengan dinyatakannya tersangka sebagai TERDAKWA di persidangan, bukan di sidang Pra Peradilan.

Kurang lebih demikian penjelasan singkat mengenai sidang Pra Peradilan yang harus dipahami oleh masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kebingungan pada masyarakat awam.

 

 

 

Jumat, 21 Juni 2024

KENAPA ORANG MELAKUKAN KORUPSI?

  


 

            Korupsi, sebuah kata singkat namun tidak singkat akibatnya. Semua orang juga paham bahwa akibat dari tindak pidana korupsi bisa mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit dan bahkan sangat mungkin akan membawa rantai panjang kejadian yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

            Sebenarnya, tindak pidana korupsi tidak muncul begitu saja, akan tetapi dapat dipastikan ada rangkaian perbuatan atau kebijakan yang bisa memicu terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa alasan yang bisa membuat seseorang atau beberapa orang melakukan tindak pidana korupsi. Meskipun, tentu saja beberapa alasan ini mungkin saja tidak sejalan dengan pemikiran banyak orang, akan tetapi tentu beberapa alasan ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa tindak pidana korupsi sangat mengancam kehidupan bernegara kita. Yang harus diingat bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tindak pidana korupsi yang mempunyai 2 (dua) unsur utama yaitu unsur memperkaya diri sendiri maupun orang lain dan unsur merugikan keuangan negara baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

            Beberapa alasan yang menyebabkan seseorang atau beberapa orang melakukan tindak pidana, diantaranya :

1.  Lemah Iman

Pasti banyak yang bertanya mengapa lemah iman menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak pidana korupsi. Akan tetapi diakui atau tidak, ketika seseorang memegang amanah untuk menjadi seorang pejabat atau pejabat tinggi dengan kewenangan, maka orang tersebut akan memiliki kewenangan yang cukup besar dalam bidang yang dipimpinnya. Apalagi, ketika kewenangan tersebut berhubungan dengan perihal keuangan, baik keuangan dalam APBN maupun APBD.

Godaan untuk menyalahgunakan keuangan negara tersebut pasti sangat besar dan tidak dapat dipungkiri bahwa kewenangan menjadi seorang pejabat seringkali tidak berbanding lurus dengan keinginan untuk menggunakan kewenangannya tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sehingga sangat mungkin seorang pejabat akan menyalahgunakan kewenangannya tersebut diakibatkan lemahnya iman pejabat tersebut.

2.  Longgarnya Peraturan & Pengawasan

Sebenarnya, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah cukup lengkap. Disamping Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah beberapa kali direvisi dan diperbaiki serta dilengkapi, peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi juga sudah dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang lain seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan berbagai undang-undang lainnya, akan tetapi berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dirasa masih longgar. Masih banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku Tindak Pidana Korupsi untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan berbagai versinya. Selain itu, masing longgarnya pengawasan yang dilakukan oleh atasan dari pejabat atau aparatur sipil negara, menjadi salah satu alasan masih maraknya tindak pidana korupsi di negeri tercinta ini. Saat ini, lembaga negara di Indonesia masih senang membuat berbagai macam aplikasi yang tujuannya sebagai alat pengawasan bagi aparatur sipil negara, baik di pusat maupun di daerah. Akan tetapi adanya berbagai macam aplikasi tersebut justru makin merepotkan para aparatur negara karena selain dibebani oleh tugas-tugas pokoknya, para aparatur sipil negara tersebut juga dibebeni untuk mengisi isian dalam berbagai aplikasi tersebut yang mirisnya aplikasi tersebut seakan tidak tepat sasaran karena berisi uraian yang bertele-tele yang seringkali tidak berhubungan dengan upaya pemberantasan korupsi. (BERSAMBUNG)

Kamis, 20 Juni 2024

KONEKSITAS (Bagian 3)



 

            Pembahasan mengenai koneksitas, maka kita selanjutnya akan membahas ketentuan Pasal 91 KUHAP yang terdiri dari 3 ayat, yang menyebutkan sebagai berikut :

(1)  Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) , titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan kepada oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang;

(2)  Apabila menurut pendapat itu, titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Indonesia untuk mengusukan kepada Menteri Pertahanan, agar dengan pesetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer;

(3)  Surat keputusan tersebut pada yata (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara dan Jaksa atau Jaksa Tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada Mahkamah Militer atau Mahkamah Tinggi Militer.

Penjelasan singkat atas ketentuan Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut adalah sebagai berikut :

1.    Penetapan pengadilan yang akan mengadili suatu tindak pidana yang pelakunya adalah warga sipil dan anggota militer, maka akan dilihat pada kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut;

2.    Jika kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan oleh warga sipil dan anggota militer lebih banyak diderita oleh warga sipil atau kepentingan sipil seperti rusaknya sarana dan prasarana umum yang ditujukan untuk warga sipil, maka pengadilan yang berhak mengadili adalah pengadilan yang masuk dalam lingkungan peradilan umum yaitu Pengadilan Negeri sesuai dengan lokasi kerugian yang ditimbulkan tersebut, contohnya, jika kerugian yang ditimbulkan ada di wilayah Karawang, maka yang  berhak mengadili adalah Pengadilan Negeri Karawang;

3.    Jika kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan oleh warga sipil dan anggota militer lebih banyak diderita oleh anggota militer atau kepentingan militer seperti rusaknya sarana dan prasarana yang ditujukan untuk kepentingan militer, maka pengadilan yang berhak mengadili adalah pengadilan yang masuk dalam lingkungan peradilan militer yaitu Pengadilan Militer sesuai dengan lokasi kerugian yang ditimbulkan tersebut, dan karena Pengadilan Militer tidak berada di masing-masing Kabupaten/Kota, maka untuk itu akan ditunjuk Pengadilan Militer yang melingkupi tempat kejadian contohnya, jika kerugian yang ditimbulkan ada di wilayah Karawang, maka yang  berhak mengadili adalah Pengadilan Militer Bandung;

4.    Oleh karena itu, maka perlu ketelitian dan kehati-hatian dalam menentukan pengadilan yang akan mengadili apabila terjadi tindak pidana yang pelakunya adalah warga sipil dan anggota militer. (BERSAMBUNG).

 

Rabu, 05 Juni 2024

KONEKSITAS (Bagian 2)

 


 

            Melanjutkan pembahasan mengenai koneksitas atas suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Hal ini mengacu kepada katentuan Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu :

(1)   Untuk menentukan apakah pengadilan dalam lingkungan pengadilan militer atau pengadilan dalam lngkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2);

(2)   Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana diatir dalam ayat (1);

(3)   Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan kepada Jaksa atau Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Dari uraian Pasal 90 KUHAP tersebut, maka dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1.    Penentuan suatu tindak pidana akan dilakukan persidangannya di peradilan umum (Pengadilan Negeri) atau di Peradilan Militer, dilakukan dengan cara melakukan penelitian atas perkara tersebut yang dilakukan oleh Jaksa pada Kejaksaan Negeri atau Jaksa pada Kejaksaan Tinggi bersama-sama dengan Oditer Militer (Jaksa Militer) atau Jaksa Militer Tinggi (Jaksa Tinggi Militer);

2.    Hasil dari penelitian tersebut dituangkan dalam suatu Berita Acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;

3.    Berita Acara yang berisikan hasil penelitian tersebut, masing-masing diserahkan kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal ABRI (sekarang TNI), sehingga bisa ditentukan bahwa apabila terdapat pelaku yang merupakan anggota militer/TNI aktif, maka pelaku tersebut akan disidangkan di peradilan militer, sedangkan pelaku yang bukan anggota militer/TNI aktif, akan disidangkan di peradilan umum (Pengadilan Negeri);

4.    Atas putusan peradilan militer dan peradilan umum tersebut, Terdakwa tetap mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum, baik itu banding, kasasi maupun peninjauan kembali. (BERSAMBUNG).

 

 

 

Beras...Oh Beras.....

Sebuah tulisan bukan tentang hukum tetapi tentang berkurangnya ketersediaaan bahan pokok sehari-hari, yaitu beras. Beberapa minggu terakhir ...